PENGANTAR ATAS PEMAHAMAN TERHADAP NILAI-NILAI DASAR
PERJUANGAN HMI
OLEH : SAKIB MACHMUD ( anggota perumus NDP)
Nilai-Nilai
Dasar Perjuangan (NDP) adalah dokumen organisasi Himpunan Mahasiswa Islam yang
dtetapkan dalam Konggres HMI ke 9 di Malang, Jawa Timur, pada tahun 1969.
Naskah tersebut memuat pertelaan mengenai asas HMI yaitu Islam, dan tata cara
serta rambu-rambu dalam memperjuangkan asas tersebut dalam kehidupan pribadi,
keluarga dan masyarakat. Perjuangan menegakkan asas harus dilakukan oleh HMI
sebagai organisasi maupun oleh para kadernya.
Tentu
saja naskah NDP yang singkat bukan keterangan tentang Islam secara keseluruhan.
Dia adalah pengantar untuk memahami Islam dan implementasinya di dalam beberapa
bidang kehidupan, terutama yang berkenaan dengan dunia kemahasiswaan. Naskah
ini berawal dari konsep NDP yang disusun oleh Ketua Pengurus Besar HMI masa
itu, Nurcholish Madjid dan dipresentasikan kepada para peserta Konggres, di
dalam Komisi Khusus NDP. Banyak masukan dari peserta, yang merupakan tambahan,
usul perubahan dan sebagainya. Selanjutnya Kongres menetapkan tiga orang
Panitia Perumus yaitu Nurcholish Madjid, Endang Saefuddin Anshari dan Sakib
Machmud. Hasil rumusan disampaikan dalam Seminar Kader di Pekalongan tahun
1970, kemudian disosialisasikan oleh PB HMI dan menjadi materi wajib dalam
setiap tahapan perkaderan.
Saya,
Sakib Machmud, adalah seorang anggota perumus NDP yang masih dikaruniai umur
oleh Allah SWT sampai saat tulisan ini disusun. Yang saya sajikan ini bukan
naskah NDP yang menjadi milik organisasi HMI, tetapi interpretasi dan
penjabaran saya pribadi terhadap NDP. Karena yang dirumuskan dalam NDP adalah
Islam, menurut pendapat saya perlu dikemukakan kepada kalangan yang lebih luas
selain di lingkungan HMI sendiri. Maka dengan tanggung jawab pribadi, saya
sampaikan pemahaman saya terhadap NDP. Pemahaman terhadap delapan bab NDP
tersebut insya Allah akan saya sampaikan, yaitu:
- Dasar-dasar Kepercayaan
- Pengertian Dasar tentang Kemanusiaan
- Kemerdekaan Manusia dan Keharusan Universal
- Ketuhanan YME dan Kemanusiaan
- Individu dan Masyarakat
- Keadilan Sosial dan Keadilan Ekonomi
- Kemanusiaan dan Ilmu Pengetahuan
- Kesimpulan dan Penutup.
Saya
berharap tulisan ini diterima dengan lapang hati oleh siapapun yang berniat
untuk menambah wawasan dalam memahami Islam.
DASAR-DASAR
KEPERCAYAAN
Manusia
yang merupakan paduan raga dengan jiwa, memerlukan kepercayaan tentang berbagai
hal di dalam hidupnya. Orang perlu percaya bahwa yang duduk di sebelahnya tidak
akan mencelakakan dirinya. Orang perlu percaya bahwa gedung atau rumah yang
sedang atau akan dimasukinya tidak akan runtuh menimpa dirinya. Orang perlu
percaya bahwa jantungnya akan terus berdetak, darahnya selalu mengalir ke
seluruh tubuh membawa berbagai zat yang diperlukan dan mengangkut sisa-sisa
pembakaran untuk dibuang. Orang perlu percaya bahwa selalu ada oksigen yang
dihirupnya, bahwa orang yang mengaku ibunya benar-benar yang mengandung dan
melahirkan dirinya, dan sebagainya. Tanpa kepercayaan demikian orang akan
selalu resah dan berada dalam ketidakpastian. Sejalan dengan pikiran dan
perasaannya yang terus berkembang, orang perlu dan dapat percaya bahwa matahari
yang muncul dan terbenam, angin yang berhembus, pohon yang tumbuh, berbunga dan
berbuah, terjadi karena ada yang menjadikan dan mengaturnya. Maka orang yang
menggunakan nalar dan perasaannya akan sampai kepada kepercayaan tentang Tuhan.
Biolog Julian Huxley menyatakan bahwa dalam diri manusia ada kepercayaan yang
kuat kepada Tuhan. Psikolog pemenang hadiah Nobel Carl Gustav Jung menerangkan
bahwa percaya kepada Tuhan merupakan kecenderungan yang alamiah.
Apa
yang semestinya dipercaya oleh setiap orang? Tidak lain kecuali kebenaran!
Orang memerlukan kepercayaan tentang Tuhan, tetapi Tuhan yang dipercayainya itu
harus benar-benar Tuhan yang mencipta, mengatur, menguasai seluruh yang ada
termasuk manusia sendiri. Ada ilmuwan yang menganjurkan orang agar percaya
kepada Tuhan, apapun kepercayaan itu, karena kepercayaan demikian baik bagi
dirinya. Pikiran demikian tidak logis. Orang perlu percaya tetapi pada saat
yang sama juga perlu kebenaran. Maka orang harus mengusahakan kepercayaan yang
benar itu, dengan seluruh kemampuan yang ada pada dirinya.
Karena
kepercayaan kepada Tuhan itu diperlukan oleh setiap orang, kenyataan
menunjukkan bahwa ada berbagai kepercayaan tentang tuhan, yang juga disebut
dewa serta sebutan lainnya, yang dianut oleh masyarakat. Penganut keyakinan
kepada dewa-dewa itu hidup di berbagai tempat dan kurun waktu. Tuhan dengan
berbagai sebutannya itu dipercayai sebagai yang mencipta, mengatur atau
menguasai keseluruhan atau sebagian dari proses dan kejadian di alam ini.
Karena kedudukan para dewa itu, orang memujanya menaruh harapan dan minta
tolong kepadanya. Ada dewa-dewa alam (matahari, bulan, gunung, lautan, pohon
besar), ada dewa-dewa kemanusiaan (pahlawan, pemimpin besar suatu bangsa), ada
dewa-dewa keluarga (ayah, kakek, leluhur), ada dewa-dewa penguasa suatu bidang
kegiatan manusia (dewa perburuan, dewa cinta, dewa perang).
Setiap
kepercayaan melahirkan tata nilai, yang dianut dan ditaati oleh penganutnya.
Kepercayaan tentang “penunggu gunung” menjadikan masyarakat tidak mengganggu
gunung itu, tidak mengekspoitasi potensi-potensi yang terdapat di dalamnya tanpa
“ijin” penunggunya. Kepercayaan kepada dewa perang mendorong para pemujanya
untuk “memenuhi keinginan sang dewa” dengan terus menyerbu musuh-musuhnya. Dan
sebagainya. Kepercayaan yang salah menimbulkan adat dan tradisi yang keliru dan
merugikan. Karena itu sebagaimana yang telah dikemukakan, kepercayaan yang
dianut harus benar, karena kepercayaan yang benar melahirkan perilaku individu
dan sosial yang menguntungkan manusia, bukan hanya yang menjadi pelakunya
tetapi juga lingkungannya, bahkan generasi-generasi sesudahnya.
Ajaran
Islam diawali dengan syahadah (pernyataan keyakinan), yang terdiri atas dua
ucapan, disebut syahadah tauhid dan syahadah Rasul. Keduanya merupakan Rukun
Iman yang pertama. Syahadah tauhid berbunyi Asyhadu anlaa ilaha illallah –
Aku menyatakan kebenaran yang aku yakini sepenuh hati, bahwa tidak ada Tuhan
selain Allah. Dengan perkataan laa ilaha seorang mukmin menolak mengakui
kepercayaan apapun yang tidak benar. Kalimat illallah menegaskan bahwa
kepercayaan yang dia anut dan diyakini sebagai benar hanyalah keyakinan kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Allah SWT. Seluruh sikap dan perbuatan seorang mukmin
didasarkan kepada kalimah syahadah yang diikrarkannya itu. Dia tidak akan
menyembah apapun dan siapapun selain Allah. Dia menyerahkan keputusan tentang
hidup matinya, sehat dan sakitnya, kaya atau miskinnya, kepada Allah. Dia
menegaskan kata hatinya: الْعَالَمِينَ رَبِّ لِلَّهِ وَمَمَاتِي وَمَحْيَايَ
وَنُسُكِي صَلاتِي إِنَّ – Sesungguhnya shalatku, amal ibadahku, hidup dan
matiku, hanyalah untuk Allah Tuhan semesta alam. [QS Al-An'am (6): 162].
Seorang mukmin akan senantiasa patuh kepada ketetapan-ketetapan Allah.
Iman
kepada Allah merupakan fitrah manusia, bawaan manusia sejak berada di rahim
ibu. Secara metaforik dikemukakan di dalam Al-Quran, Allah bertanya kepada
semua janin: بِرَبِّكُمْ أَلَسْتُ – Bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab:
بَلَى شَهِدْنَا – Benar, kami menjadi saksi akan hal itu. [QS Al-A'raf
(7):172]. Jadi iman kepada Allah itu telah ditanamkan oleh Allah sendiri ke
dalam diri manusia. Tetapi kemudian dalam perkembangan akal dan emosinya, orang
lupa. Maka dia perlu dan harus “me-recall” keyakinan dasarnya itu dengan dua
cara: dzikir dan tafakur. Dzikir adalah mempertajam kepekaan rasa dengan
mengingat dan menyatakan apa yang diingatnya tentang Allah, dengan cara yang
diajarkan-Nya kepada manusia. Tafakur adalah mengunakan akalnya untuk berpikir
tentang lingkungan alam, lingkungan masyarakat, dan dirinya sendiri, sehingga
sampai pada keyakinan yang mantap tentang Allah Swt. Orang yang sampai pada
tataran yakin disebut Ulul Albab. Mereka mengekspresikan suara hatinya:
رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ –
Wahai Tuhan kami, tidak Engkau jadikan segala sesuatu ini dengan sia-sia. Semua
serba harmonis dan serba bermanfaat. Maka jauhkan hati kami dari
pikiran-pikiran sesat yang menjerumuskan kami ke dalam adzab neraka.
Manusia
karena fitrahnya dan dengan penjelajahan akal dan perasaannya, dapat mengenali
adanya Tuhan. Tetapi hanya dengan usaha sendiri dia tidak dapat mengerti siapa
Tuhan itu, di mana tempat-Nya, bagaimana sifat-sifat-Nya, apa yang Dia
kehendaki untuk dilakukan oleh manusia, dan sebagainya. Seandainya Tuhan tidak
memberi tahu hal-hal yang sangat diperlukan manusia tersebut, orang pasti
tersesat sehingga menemukan tuhan-tuhan yang bukan Tuhan. Maka dengan kasih-Nya
yang agung serta kebijaksanaan-Nya yang sempurna Dia berkenan memberi informasi
yang cukup tentang diri-Nya, kepada manusia.
Dengan
kekuasaan-Nya yang tidak berbatas, Tuhan tentu dapat menyampaikan informasi-Nya
kepada manusia dengan cara yang “dahsyat”, seperti melalui suara yang
menggelegar sehingga terdengar oleh semua orang menurut bahasa mereka
masing-masing, atau tertulis di langit dengan sangat jelas, menggunakan huruf
dan bahasa yang berbeda-beda. Tetapi sekiranya cara itu yang Dia gunakan, tentu
tidak sesuai dengan penerima informasi, yaitu manusia yang berakal sehingga
diberi keleluasaan untuk menerima atau menolak petunjuk Tuhan tersebut. Maka
Tuhan menurunkan keterangan dan petunjuk-Nya melalui pribadi- pribadi yang
dipilih dan ditetapkan di antara manusia sendiri. Informasi tersebut Dia
wahyukan kepada Nabi (penerima wahyu), selanjutnya sang penerima bertindak
sebagai Rasul (utusan) untuk meneruskannya kepada umat. Dengan prosedur
demikian orang dapat menerima keterangan Allah secara jelas, sesuai dengan
sifat-sifat dasar yang ada pada manusia. Rasul Allah mengemban tiga tugas,
yaitu menyampaikan wahyu, menerangkan hal-hal yang dianggap belum jelas dari
teks wahyu serta memberikan rinciannya, dan menjadikan diri sebagai uswatun
hasanah – suri teladan kebaikan, yaitu dalam melaksanakan petunjuk Tuhan
tersebut dalam kehidupan nyata [QS Al-Ahzab (33):21].
Karena
yang memerlukan petunjuk itu semua orang, yang hidup di berbagai tempat dan
kurun waktu, maka Tuhan menurunkan banyak sekali Rasul. Al-Quran menyatakan:
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ رَسُولٌ – dan tiap-tiap umat mempunyai Rasul. [QS Yunus
(10):47]. وَلِكُلِّ قَوْمٍ هَادٍ – dan bagi tiap-tiap kaum ada yang memberinya
petunjuk. [QS Ar-Ra'd (13):7]. Tuhan tidak memberi tahu jumlah Rasul yang telah
diutus-Nya, kecuali sebagian saja. Mengenai hal ini Al-Quran menerangkan:
وَرُسُلا قَدْ قَصَصْنَاهُمْ عَلَيْكَ مِنْ قَبْلُ وَرُسُلا لَمْ نَقْصُصْهُمْ
عَلَيْكَ – Dan (Kami telah mengutus) Rasul-rasul yang sungguh telah Kami
kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan Rasul-rasul yang tidak Kami
kisahkan tentang mereka kepadamu. [QS An-Nisa (4);164]. Rasul yang terakhir
sehingga Risalah yang disampaikannya masih dan akan tetap berlaku adalah
Muhammad Saw. Maka syahadah kedua seorang Mukmin adalah Asyhadu anna
Muhammadar Rasulullah – Aku meyakini sepenuh hati bahwa Muhammad adalah
Rasul Allah.
Berbeda
dengan syahadah tauhid yang menyatakan tidak ada Tuhan selain Allah, syahadah
Rasul hanya menekankan bahwa Muhammad merupakan salah seorang dari Rasul Allah.
Ada Rasul-rasul lain, di antaranya 25 yang diterangkan dalam Al-Quran. Semua
mereka harus diyakini sebagai utusan Allah. Ayat 152 surah 4 An-Nisa
menerangkan, orang-orang yang pasti mendapat pahala dari Allah adalah:
وَالَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَلَمْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ أَحَدٍ
مِنْهُمْ – orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya dan tidak
membedakan seorangpun di antara para Rasul itu. Agama yang disampaikan Muhammad
Saw bukan agama baru tetapi kelanjutan dari agama-agama yang disampaikan
Rasul-rasul terdahulu. Seandainya ajaran beliau-beliau masih dapat ditemukan
dalam bentuk aslinya, umat Muhammad wajib mengimaninya. Tetapi fakta
menunjukkan bahwa tidak ada keterangan Rasul terdahulu yang masih utuh sampai
saat ini. Maka yang wajib diimani umat Muhammad hanyalah yang disampaikan oleh
Rasul penghabisan tersebut, yaitu Al-Quran dan As-Sunnah.
Manusia
sangat memerlukan pengetahuan tentang Allah dan Dia berkenan memberi informasi
yang diperlukan manusia. Dia menerangkan informasi yang paling pokok: قُلْ هُوَ
اللَّهُ أَحَدٌ – Katakanlah bahwa Dia Allah itu Maha Esa. الصَّمَدُ اللَّهُ –
Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. لَمْ يَلِدْ وَلَمْ
يُولَدْ – Dia tidak berputera dan tidak diputerakan. وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا
أَحَدٌ – dan tidak ada sesuatupun yang setara dengan Dia. [QS Al-Ikhlas
(112):1-4]. Sebelum sebutan “Allah” diperkenalkan, terlebih dahulu digunakan
perkataan Rabb – Pengatur, Pembina, Pemelihara segala sesuatu. [QS QS
Al-Alaq (96):1, Al-Muddattsir (74:3]. Maka karena kedudukan Allah sebagai
Penguasa seluruh makhluk, Dia menjadi satu-satunya Ilah – sesembahan
manusia dan makhluk berakal lainnya.
Allah
yang menjadi Rabb seluruh alam, menetapkan aturan-aturan bagi tiap
bagian alam dan interaksi antara unsur-unsur alam sehingga terwujud harmoni
yang indah dan bermanfaat. Dia menetapkan bumi berputar mengelilingi matahari
dengan kecepatan 107 ribu kilometer sejam. Dia menetapkan matahari memancarkan
energi sebesar 389 juta miliar miliar watt setiap detik. Dia menetapkan bahwa
air mendidih pada temperatur 100 derajat Celsius di bawah tekanan 76 cm air
raksa, dan membeku pada suhu nol derajat Celcius tekanan yang sama. Khusus
untuk manusia Allah Swt menurunkan aturan-aturan yang tidak dipaksakan tetapi
ditawarkan untuk diimani dan dilaksanakan dengan suka rela, atau ditolak. Nabi
Muhammad Saw menerima penegasan Allah: لا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ
الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ – Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam);
sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. [QS
Al-Baqarah (2):256]. Allah memberi arahan kepada Rasul mengenai jawaban
terhadap orang-orang bertanya kepada beliau: وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ
فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ – Dan katakanlah (wahai
Rasul): “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin
(beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir) biarlah ia
kafir” [QS Al-Kahfi (18):29]. Tentu saja pilihan bebas setiap orang untuk
beriman atau kafir membawa konsekuensi bagi dirinya. Yang beriman dan memenuhi
konsekuensi imannya itu mendapatkan pahala yang luar biasa indahnya, yang
ingkar dan berbuat buruk menerima hukuman yang luar biasa pedihnya.
Setelah
menerangkan diri-Nya, Allah membicarakan hakekat dan posisi manusia sebagai salah
satu jenis makhluk-Nya. Manusia dinyatakan sebagai تَقْوِيمٍ أَحْسَنِ –
sebaik-baik ciptaan, tetapi predikat ini dapat berubah drastis menjadi
سَافِلِينَ أَسْفَلَ – seburuk-buruk makhluk. [QS At-Tin (95):4-5]. Derajat
setiap orang bergantung kepada takwanya. Allah menandaskan: إِنَّ أَكْرَمَكُمْ
عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ – Sungguh yang paling mulia di antara kamu di sisi
Allah adalah yang paling takwa di antara kamu [QS Al-Hujurat (49):13]. Takwa
adalah kesadaran akan eksistensi Allah yang tunggal, keagungan Allah yang tidak
ada bandingnya, kekuasaan Allah yang tidak berbatas. Maka orang yang takwa
selalu berusaha dengan mengerahkan segala kemampuannya untuk melaksanakan semua
perintah Allah dan menghindari setiap larangan-Nya.
Pada
awalnya manusia diposisikan di tempat yang mulia. Allah SWT menegaskan hal ini:
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ – Dan
sungguh telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan
di lautan. وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ
مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلا – Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan
Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk
yang telah Kami cipta [QS Al-Isra (17):70]. Dalam posisi itu manusia bahkan
lebih mulia dibanding malaikat. Manusia, yang direpresentasikan oleh Adam,
tidak diperintahkan untuk memberi penghormatan kepada malaikat, tetapi
sebaliknya: malaikat diharuskan sujud (menghormat) Adam. [QS Al-A'raf (7):11].
Tetapi dalam keadaan yang buruk karena mendurhakai Allah, manusia bahkan lebih
rendah dari binatang. أُولَئِكَ كَالأنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ
الْغَافِلُونَ – Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat
lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. [QS Al-A'raf (7):179].
Kelebihan
dasar manusia adalah kemampuan akalnya yang tinggi. Maka manusia diberi dua
fungsi yaitu sebagai ‘Abdullah – hamba Allah, dan Khalifatullah fil
ardhi – petugas Allah dalam mengelola bumi. Kedua fungsi itu harus dijalani
bersama-sama. Orang taat kepada Allah dengan mengatur kehidupan di bumi, dan
mengatur kehidupan di bumi dengan bersandar kepada hukum-hukum Allah.
Barangsiapa beraktivitas dengan tidak mengindahkan hukum-hukum Allah, dia
kafir, dzalim kepada diri sendiri, dan bergelimang dosa [QS Al-Maidah (5):
44,45, 47].
Manusia
dicipta Allah dalam keadaan fitrah (HR Bukhari, Muslim, dll). Ulama
mengemukakan dua pengertian fitrah. Yang pertama: suci dari dosa bawaan, tidak
menanggung dosa orang tuanya, apa lagi dosa kakek nenek moyangnya, Adam a.s.
dan Hawa r.a. Seorang bayi yang lahir dari rahim seorang perempuan tuna susila
karena hubungan fisik tanpa nikah dengan seorang penjahat, sama sucinya dengan
anak seorang Nabi. Dosa ditimpakan kepada orang yang sudah balligh – dewasa,
karena dengan kemauan sendiri melakukan perbuatan yang melanggar hukum Allah.
Pengertian fitrah yang kedua: cenderung kepada kesucian dan kebenaran. Manusia
bukan makhluk yang dengan sendirinya buruk, tidak pula seperti meja lilin (tabula
rasa), yang sama reaksinya ketika dituliskan atau dilukiskan padanya
kebaikan maupun keburukan.
Tetapi
kecenderungan kepada kebaikan ini acap kali dikalahkan oleh hawa nafsu –
keinginan kepada sesuatu secara berlebihan. Keinginan melampaui batas, mengarah
kepada keburukan. [QS Yusuf (12):53]. Sesungguhnya nafsu bukan sesuatu yang
buruk; nafsu menjadikan orang menikmati aktivtas mengerjakan sesuatu dan hasil
kerjanya. Allah SWT berfirman: زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ
النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ
وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالأنْعَامِ وَالْحَرْثِ -Dijadikan
indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu:
pasangan hidup, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ
الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ- Itulah kesenangan hidup di dunia
dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (yaitu surga). [QS Ali 'Imran
(3):14]. Pada ayat ini dikemukakan bahwa keinginan kepada kesenangan dunia itu
wajar, tetapi keinginan kepada kenikmatan akhirat yang hakiki dan abadi itu
lebih baik. Untuk memperoleh kesenangan akhirat itu orang harus mengendalikan
nafsunya. Secara metaforik Allah menyatakan: وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلا
تُسْرِفُوا إِنَّهُ لا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ – Makanlah, minumlah, dan jangan
berlebih-lebihan; sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang
berlebih-lebihan [QS Al-A'raf (7):31].
Karena
manusia pada dasarnya menempati kedudukan yang sangat tinggi di antara
makhluk-makhluk Allah, maka tugas utamanya adalah menjaga agar tidak turun ke
tempat yang rendah. Surah At-Tin menerangkan, manusia akan jatuh dari derajat
tinggi ke derajat rendah, إِلا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ – kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal shaleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.
Beriman artinya percaya kepada Allah beserta segala informasi ghaib yang
diterangkan Allah. Ghaib adalah kenyataan yang tidak dapat ditangkap oleh
manusia dengan indera dan akalnya, dan hanya dapat dipahami dengan percaya
kepada keterangan Allah. Di antara hal-hal ghaib yang harus dipercayai oleh
setiap Mukmin adalah: malaikat Allah, Kitab-kitab Allah, para Rasul Allah, Hari
Kiamat, dan Taqdir Allah atas segala makhluk-Nya.
Iman
yang ada di dalam hati harus diwujudkan manusia dengan amal saleh. Iman dan
amal saleh merupakan kesatuan tak terpisahkan, sehingga lebih dari limapuluh
kali Al-Quran menyebut rangkaian dua perkataan آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
dalam satu nafas. Amal artinya perbuatan yang disengaja, yang dilakukan dengan
niat; dalam hal ini niat untuk melaksanakan petunjuk dan perintah Allah. Saleh
(shalih) artinya selaras, yaitu selaras dengan Kehendak dan Ketetapan Allah.
Orang yang melakukan perbuatan baik tetapi didasari oleh niat yang bukan
“karena Allah”, perbuatan itu tidak akan rewarding – tidak memberi
manfaat kepadanya. Perbuatan demikian itu digambarkan Al-Quran: كَسَرَابٍ
بِقِيعَةٍ – seperti fatamorgana di tanah datar. يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَاءً
حَتَّى إِذَا جَاءَهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئًا – orang yang kehausan mengira ada
air, tetapi setelah didekati ternyata tidak dijumpainya sesuatu apapun. [QS
An-Nur (24):39]. Maka amal saleh harus dilaksanakan dengan ikhlas – murni
karena mengharapkan ridha Allah Swt.
Tata
cara berbuat baik juga harus benar, yaitu sesuai dengan hukum-hukum Allah.
Untuk masalah ibadah mahdhoh (ritual), upacara menghadap Allah harus
sesuai benar dengan petunjuk dan contoh Rasulullah Saw. Shalat dzuhur harus
empat raka’at, tidak boleh kurang dan tidak boleh lebih. Puasa Ramadhan dimulai
ketika pada waktu maghrib sebelumnya, bagian atas bulan (hilal) sudah
berada di atas ufuk, dan selesai tatkala hilal kembali berada di atas
ufuk. Penyimpangan terhadap ketentuan baku adalah tambahan (bid’ah) yang
dilarang keras. Sedangkan dalam mu’amalah (ibadah kepada Allah dengan
melakukan kebaikan sosial), orang bebas berkreasi asalkan tidak menyimpang dari
ketetapan pokok yang digariskan dalam Al-Quran dan Al-Hadits). Orang boleh
berorganisasi, berpolitik, dan sebagainya tanpa melihat contoh Rasul.
Telah
kita bicarakan bahwa pengakuan beriman baru bermakna bila direalisikan dalam
amal saleh. Kehendak untuk beramal saleh menghadapi godaan dan ujian yang terus
menerus dalam segala waktu dan di segala tempat. Setiap kali seseorang lulus
dalam sebuah tahapan ujian, derajatnya naik, tetapi ketika pada ujian
berikutnya gagal peringkatnya turun kembali. Allah berfirman: أَحَسِبَ النَّاسُ
أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لا يُفْتَنُونَ – Apakah orang
mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) berkata: “Kami telah beriman”, sedang
mereka tidak diuji lagi (atas pengakuannya itu? وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ
مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ
الْكَاذِبِينَ- Dan sungguh Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka,
maka sungguh Allah mengetahui orang-orang yang benar pengakuan imannya dan Dia
mengetahui orang-orang yang dusta. [QS Al-'Ankabut (29):2-3].
Perjuangan
keras mengendalikan nafsu dengan kerbuat kebaikan, pasti menghasilkan balasan
berupa anugerah Allah yang berupa kebahagiaan di dunia dan akhirat. Allah
menurunkan janji-Nya yang sangat jelas: مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ
أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ
أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ – Barang siapa yang mengerjakan
amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka
sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya
akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa
yang telah mereka kerjakan. [QS An-Nahl (16): 97]. Sebaliknya orang-orang yang
mengabaikan janji Allah dan karena itu melakukan perbuatan buruk, mereka
mendapatkan balasan yang sangat pedih. Allah menegaskan hal ini: وَمَنْ
يَكْسِبْ إِثْمًا فَإِنَّمَا يَكْسِبُهُ عَلَى نَفْسِهِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا
حَكِيمًا – Barang siapa yang mengerjakan dosa, maka sesungguhnya ia mengerjakannya
untuk (kemudaratan) dirinya sendiri. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana. [QS An-Nisa (4):111].
Manusia
yang hidupnya bermakna adalah yang bekerja keras dengan memanfaatkan secara
optimal bekal-bekal yang dikaruniakan Allah kepada dirinya, mulai dari umur,
kesehatan, kekuatan fisik, kemampuan akal, harta benda, sampai dengan iman yang
menjadikan dia tahu membedakan benar dengan salah dan pekerjaan yang bermanfaat
dengan yang mendatangkan mudharat. Kerja keras di jalan yang benar adalah wujud
dari tasyakur bin ni’mah – mensyukuri karunia Allah Swt. Pengerahan
semua potensi dengan sepenuhnya disebut jihad – perjuangan. Allah Swt
menegaskan, orang yang benar-benar beriman adalah yang meyakini Allah beserta
Rasul-Nya, patuh kepada Allah dengan mengikuti ketetapan-ketetapan yang
disampaikan Rasul, kemudian tidak ragu-ragu lagi terhadap imannya itu, lalu
berjihad di jalan Allah dengan harta dan dirinya. [QS Al-Hujurat (49):15].
Sebaliknya yang mengaku beriman tetapi tidak berjihad dalam berbagai bidang
yang tersedia baginya, dia munafik – culas; derajat munafik ini amat sangat
rendah.
Orang-orang
munafik itu tidak pernah memenuhi konsekuensi dari pernyataan iman yang
diucapkannya, karena pada dasarnya mereka memang tidak beriman. Mereka
menunaikan shalat hanya bila dilihat oleh orang-orang mukmin; itupun dengan
amat malas. [QS An-Nisa (4):142]. Mereka berjanji akan memberikan sedekah
apabila mempunyai harta yang memadai, tetapi janji itu tidak pernah dipenuhi.
[QS At-Taubah (9):76]. Apa lagi tatkala diperintahkan untuk berjihad di jalan
Allah, orang-orang itu selalu mencari alasan untuk menghindar [QS At-Taubah
(9):86]. Rasulullah Saw menuturkan ciri-ciri munafik dalam kehidupan
sehari-hari: Bila berbicara dusta, bila berjanji mungkir, bila dipercaya
khianat (Al-Hadits).
Orang
yang benar-benar beriman harus mewujudkan imannya dengan berjihad penuh
semangat dan kesediaan berkorban. Tetapi melaksanakan jihad tidak boleh dengan
semangat semata; harus mengetahui tujuan yang hendak dicapai dan teguh (istiqomah)
dalam mencapai tujuan tersebut. Semangat yang menggebu-gebu tanpa kendali akal
akan menyebabkan orang melakukan hal-hal yang justru menjauhkan dia dari
tujuan. Sebaliknya, pemikiran yang dalam tanpa semangat tinggi untuk bertindak,
menjadikan orang ragu, berputar-putar dalam dunia teori tanpa berbuat apa-apa.
Agar jihad (perjuangan) mencapai hasil yang sebaik mungkin, perlu
dilakukan musyawarah di antara para pemangku kepentingan. [QS As-Syura
(42):38]. Musyawarah harus dilandasi kemauan mendengarkan pembicaraan
orang-orang lain, karena yang demikian itulah sikap orang yang beriman [QS
Az-Zumar (39):18].
IKHTIAR
MANUSIA DAN TAKDIR ALLAH
Manusia
lahir di dunia sebagai individu, tetapi begitu berada di dunia, dia hidup dalam
lingkungan alam dan sosial yang memberi pengaruh kepadanya. Sebagai individu,
orang punya kebebasan penuh untuk berpikir, berpendapat dan bersikap. Tetapi
karena berada di dalam lingkungan, pelaksanaan kebebasannya itu dibatasi oleh
unsur-unsur yang berada dalam lingkungannya itu. Unsur-unsur alam yang berupa
benda mati, flora dan fauna membatasi pewujudan kehendak manusia, begitu pula
orang-orang lain yang merupakan lingkungan sosialnya.
Sebagai
Rabbul ‘alamin – Pembina semesta alam, Allah mengatur setiap ciptaan-Nya
sehingga berinteraksi satu sama lain secara harmonis dan saling memberi
manfaat. Dia perintahkan matahari memancarkan energi yang berupa cahaya dan
panas sebesar 389 juta miliar miliar watt setiap detik. Begitu pula dengan
miliaran bintang lain yang matahari merupakan salah satu anggotanya yang
“kerdil”. Dia perintahkan bumi untuk mengitari matahari secara terus menerus
dengan kecepatan tetap sekitar 107 ribu kilometer sejam. Dia atur segala
sesuatu sehingga air berotasi dari kawasan laut ke kawasan darat lalu kembali
lagi ke laut dan seterusnya. Dia atur udara bergerak dari tempat yang lebih
rapat ke tempat yang kosong; maka terjadilah angin. Dia tempatkan bumi pada
jarak 150 juta kilometer dari matahari kemudian berputar pada porosnya sehingga
suhunya moderat bagi semua penghuninya. Dia pastikan bumi mempunyai gaya
gravitasi sehingga semua orang, hewan dan tetumbuhan berada di permukaannya
dengan mantap. Dia detakkan jantung, dia denyutkan darah, dia kembang kempiskan
paru-paru setiap orang, dan Dia proteksi terhadap rupa-rupa penyakit.
Aturan-aturan
Allah untuk alam itu disebut Taqdir atau Sunnatullah. Al-Quran menerangkan:
وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا – dan Dia telah mencipta segala
sesuatu, dan Dia menetapkan taqdir-Nya [QS Al-Furqan (25):2]. وَالشَّمْسُ
تَجْرِي لِمُسْتَقَرٍّ لَهَا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ – Dan
matahari berjalan di tempat peredarannya, Demikianlah taqdir yang Mahaperkasa
lagi Mahamengetahui [QS Yasin (36):38]. Aturan-aturan itu bersifat tetap dan
tak berubah sampai Kiamat tiba. سُنَّةَ اللَّهِ الَّتِي قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلُ
وَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِ اللَّهِ تَبْدِيلا – Sunnatullah itu telah berlaku sejak
dahulu dan kamu tidak akan menjumpai perubahan dalam Sunnatullah itu sedikitpun
[QS Al-Fath (48):23]. Tetapi sudah tentu Allah yang Pemilik alam ini pada suatu
ketika berhak dan mampu mengintervensi proses alam yang Dia tetapkan. Mu’jizat
Nabi Musa As, kelahiran ‘Isa As tanpa ayah, Ibrahim As yang tidak cedera
sedikitpun ketika dibakar oleh Namrudz, terjadi karena Kehendak khusus Allah
yang Mahakuasa dan Mahabijaksana.
Manusia
merupakan paduan dari jasmani dan ruhani. Jasmani setiap orang, tanpa kecuali
tunduk kepada semua taqdir Allah yang diberlukan bagi alam. Tubuh manusia
mengikuti hukum gravitasi yang menarik setiap benda ke bawah; dengan itu orang
dapat berdiri, duduk atau berbaring dengan mantap di permukaan bumi. Tubuh juga
mengikuti hukum pemuaian dan pengerutan, penguapan dan pengembunan, osmosis,
dan sebagainya, dengan konsekuensi-konsekuensi yang terjadi padanya, baik yang
menguntungkan maupun yang merugikan. Adapun ruhani, dia merupakan inti dan jati
diri kemanusiaan. Dia berkehendak dan pada batas tertentu mampu memerintahkan
bagian-bagian tubuh untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu. Bagian-bagian
tubuh itupun patuh kepada perintah ruhaninya: mata berkedip, tangan bergerak,
kaki berlari, dan sebagainya. Tetapi dalam hal-hal yang sangat perlu, jasmani
bertindak sendiri tanpa menunggu perintah ruhani: jantung berdetak, paru-paru
mengembang dan mengempis, darah mengalir ke seluruh tubuh, dan usus memproses
pencernaan makanan. Ada kalanya bagian tubuh setia mengikuti keinginan ruhani
tetapi pada kondisi tertentu berbuat tanpa perintah; itulah gerak-gerak reflek
yang terjadi karena kebutuhan mendesak untuk segera dilakukan. Ruhani memiliki
kesadaran tentang benda-benda yang ada dan proses yang sedang berlangsung di
sekitarnya. Ruhani juga berpotensi untuk memahami benar dan salah, baik dan
buruk, bermanfaat atau mendatangkan mudharat. Tetapi acap kali ruhani
keliru dalam memahami kebenaran, dan gagal dalam menilai benar dan salah. Maka
Allah Pencipta dan Pengatur segala sesuatu, dengan kebijaksanaan-Nya yang tidak
berbatas menetapkan aturan-aturan untuk dipatuhi oleh ruhani manusia.
Aturan-aturan yang ditetapkan oleh yang Mahapengasih dan Mahapenyayang itu
pasti baik serta bermanfaat bagi yang mematuhinya. Apabila ruhani dengan sadar
dan suka rela tunduk kepada aturan Allah, dia menyatu dengan jasmaninya, yang
sebagaimana kita bicarakan tadi, dengan sendirinya patuh kepada Takdir Allah.
Sikap demikian itu disebut Islam dan pelakunya Muslim. Dengan berpadunya ruhani
dan jasmani secara harmonis, orang mendapat ketenteraman dan kebahagiaan.
Tatkala
Allah memberi tahu malaikat mengenai keputusan-Nya untuk menjadikan Adam dan
keturunannya sebagai khalifah yang bertugas memimpin pengelolaan bumi, malaikat
bertanya: “Mengapa Engkau menjadikan manusia sebagai khalifah, sedangkan mereka
(sebagaimana yang Engkau informasikan), adalah makhluk yang mempunyai potensi
untuk merusak alam dan saling berseteru?”. Malaikat kemudian bertanya, mengapa
bukan mereka yang diberi posisi itu. Bukankah mereka selalu bertasbih
memuji-Nya dan menunaikan semua perintah-Nya? Allah menukas pertanyaan malaikat
tersebut dengan penegasan bahwa Dia Mahatahu tentang segala sesuatu [QS
Al-Baqarah (2): 30]. Kemudian dengan menggunakan matsal (kiasan), Allah
menerangkan bahwa Dia memberi potensi kepada manusia untuk mengembangkan
pengetahuannya; itu adalah kelebihannya yang tidak dimiliki malaikat. Dengan kemampuan
yang khas itu manusia mengembangkan alam raya secara dinamik, walaupun dapat
menyebabkan kerusakan dan degradasi fungsi serta potensi alam itu sendiri.
Seandainya malaikat yang menjadi khalifah, tidak akan terjadi kerusakan, tetapi
juga tidak ada perubahan. Dinamika yang tinggi di alam adalah Kehendak Allah
Swt; maka Dia menetapkan manusia sebagai pengaturnya.
Manusia
dengan inderanya mengetahui berbagai hal yang terdapat di lingkungannya. Dia
mengetahui bundarnya matahari, cahayanya yang terang benderang, panasnya yang
menyengat. Dia mengetahui daun yang hijau, batu yang keras, air yang dapat
berubah menjadi es atau uap. Kemudian dengan akal – rasio dan rasa – orang
melakukan penelitian atas setiap kenyataan yang diketahuinya itu sehingga
menemukan pengetahuan baru mengenai asal muasal, proses pembentukan dan
pengembangan, serta kegunaan dari apa yang ditangkap dengan inderanya itu.
Melalui penalaran dan penelitian, orang menemukan berbagai pengetahuan baru.
Orang menghimpun pengetahuan-pengetahuannya lalu mensistematisasikan
pengetahuan itu dengan metode tertentu; maka terbentuklah ilmu, yang semakin
luas dan semakin mendalam. Ilmu (science) pada hakekatnya adalah pemahaman
manusia mengenai Takdir Allah. Proses pengembangan ilmu tidak pernah berhenti
selagi manusia ada. Akan tetapi toh pengetahuan manusia memiliki batas, tidak
ada artinya dibanding dengan pengetahuan Allah. Dia menegaskan: وَلَوْ أَنَّمَا
فِي الأرْضِ مِنْ شَجَرَةٍ أَقْلامٌ وَالْبَحْرُ يَمُدُّهُ مِنْ بَعْدِهِ سَبْعَةُ
أَبْحُرٍ مَا نَفِدَتْ كَلِمَاتُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ – Dan
seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta),
ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering) nya, niscaya tidak
akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa
lagi Mahabijaksana. [QS Luqman (31):27].
Meskipun
seluruh pengetahuan manusia dikumpulkan menjadi satu itu amat terbatas, tetapi
yang sedikit dibanding pengetahuan Allah itu telah menghasilkan banyak karya
ilmu di banyak bidang. Orang menemukan banyak sekali hukum alam – yang bagi
seorang Mukmin adalah hukum Allah untuk alam. Telah kita bicarakan bahwa
hukum-hukum alam ini merupakan bagian dari Taqdir atau Sunnatullah. Penemuan
Newton tentang gravitasi bumi dikembangkan oleh dia sendiri dan orang-orang
lain, menghasilkan sumbangan berharga terhadap ilmu. Begitu pula penemuan
Archimedes bahwa benda yang dimasukan ke dalam benda cair akan ditekan ke atas
dengan kekuatan seberat benda cair yang dipindahkan. Demikian juga penemuan-penemuan
para ahli Biologi, Sosiologi, Ekonomi, dan sebagainya.
Ilmu
tidak hanya memuaskan kecenderungan manusia yang serba ingin tahu. Ilmu
kemudian dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia yang tidak berbatas.
Prinsip Archimedes menghasilkan cara pembuatan kapal secara akurat, karena tahu
luas dari alas kapal yang harus disediakan, bentuk yang efisien, bobot muatan
yang diijinkan, dan sebagainya. Gaya gravitasi bumi mula-mula menghalangi orang
melepaskan diri dari kondisi “terpaku” di atas tanah. Tetapi dengan menggunakan
pengetahuan tentang sifat-sifat gravitasi, orang menemukan baling-baling sampai
roket, yang justru memudahkan orang melesat dari permukaan bumi. Adanya friksi,
gesekan antara dua benda, pada awalnya menghambat orang menggeser sebuah benda
yang terletak di atas tanah. Tetapi kemudian dengan prinsip friksi itu orang
menemukan roda, yang justru dapat memindahkan benda di atas tanah dengan mudah.
Orang memang tidak pernah dapat meniadakan Taqdir Allah, tetapi bisa
memanfaatkan Taqdir untuk memperoleh apa yang dia perlukan. Pemanfaatan ilmu
untuk meningkatkan kesejahteraan manusia disebut teknologi.
Ada
lagi manfaat ilmu yang sebenarnya sangat penting tetapi acap dilupakan banyak
orang, yaitu memantapkan keyakinan kepada Allah, Pencipta dan Pengatur segala
sesuatu. Penguasaan ilmu mengembangkan kesadaran bahwa setiap unsur alam ini
memiliki sifat-sifat khas, sehingga ketika berinteraksi dengan unsur alam
lainnya membentuk harmoni yang sangat bermanfaat. Cahaya matahari berinteraksi
dengan chlorophyl di daun mengubah udara kotor menjadi udara bersih. Air hujan
yang bersifat sadah masuk ke tanah, disaring dan dilaruti berbagai zat yang ada
di dalam tanah, kemudian ke luar lagi menjadi air yang siap untuk ‘disantap’
oleh tanaman, hewan, dan manusia. Bunga-bunga yang tumbuh di tubuh pohon
memiliki bentuk dan warna yang indah serta bau yang harum, sehingga menarik
kumbang dan kupu-kupu mengunjunginya. Di dalam bunga ada madu; maka para
penyintanya datang untuk menghisap menikmatinya. Pada saat yang sama
hewan-hewan tersebut menggugurkan serbuk sari dalam benang-benang sari untuk
bertemu dengan putik. Terjadilah perkawinan keduanya yang menghasilkan buah. Di
dalam buah terdapat bijih-bijih yang merupakan calon pohon baru, ketika buah
yang tua kemudian jatuh ke tanah. Tetapi kalau semua bijih jatuh di dekat pohon
induk, akan terjadi persaingan tak seimbang antara pohon muda yang lemah dengan
induknya yang kuat. Pohon muda akan cepat mati sehingga tidak terjadi
penambahan populasi. Hal itu tidak terjadi karena ada hewan dan manusia yang
menyukai buah-buahan, membawanya pergi dan memakannya di tempat lain, lalu
membuang bijihnya di tempat jauh.
Pengetahuan
manusia akan keteraturan dan keserasian itu menimbulkan kekaguman, dan
keyakinan akan kehebatan Allah, di dalam hati orang-orang yang disebut Ulul
Albab – cendekiawan sejati. Ulul Albab adalah: الَّذِينَ يَذْكُرُونَ
اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ
السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلا سُبْحَانَكَ فَقِنَا
عَذَابَ النَّارِ – Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk
atau dalam keadaan berbaring (di segala posisi) dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya mengekspresikan suara hatinya): “Wahai Tuhan
kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka
peliharalah kami dari (pikiran-pikiran sesat yang membawa kami ke dalam) siksa
neraka [QS Ali 'Imran (3):191].
Manusia
adalah salah satu species dari makhluk Allah dan merupakan bagian serta
penghuni alam raya. Karena itu manusia juga terkena oleh keharusan untuk
mematuhi Takdir Allah. Yang tunduk kepada Takdir itu bukan hanya jasmaninya
tetapi juga ruhaninya. Namun terhadap ruhani manusia itu Allah yang berkuasa
atas segala sesuatu dan yang memiliki kehendak sempurna bebas, menetapkan
manusia menjadi makhluk merdeka. Manusia dibebaskan untuk mempunyai kehendak,
boleh memilih apa yang diinginkannya dan boleh mengusahakan terwujudnya
keinginan itu. Tetapi sebagai konsekuensinya manusia bertanggung jawab atas
pilihannya itu. Allah menjelaskan policy-Nya : وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ
لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ
فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ – Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu
dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap
pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.
Allah
dapat menjadikan semua orang itu satu umat, yang sama dalam pemikirannya,
keinginannya, potensinya. Tetapi Dia justru menghendaki perbedaan antara
seorang dengan yang lain, sehingga masing-masing menggunakan potensinya itu
untuk – kalau dia ingin – berbuat kebaikan. Meskipun demikian, orang harus
menyadari bahwa ada batas-batas di lingkungan setiap orang, yang mendorong atau
menghambat realisasi dari keinginannya itu. Seseorang berkehendak untuk menjadi
dokter. Bisa jadi orang tuanya cukup mampu untuk memasukkan dia di Fakultas
Kedokteran, tetapi boleh jadi orang tuanya serta keluarganya tidak memiliki
kemampuan itu. Seseorang yang sangat kuat minatnya dapat mengusahakan sendiri
sarananya, seseorang lainnya tidak. Demikian pulalah seorang pemuda ingin
sekali mempersunting seorang gadis, bisa jadi dia berhasil dan boleh jadi
tidak. Kondisi lingkungan tersebut merupakan bagian dari Takdir Allah. Seperti
yang telah kita bicarakan, orang tidak dapat meniadakan Takdir, tetapi dapat
berjalan di antara Takdir-takdir, atau bahkan memanfaatkan Takdir yang
diketahuinya untuk memperoleh apa yang dia harapkan. Ikhtiar adalah sebuah
keniscayaan untuk memperoleh keberhasilan. Dr. Muhammad Iqbal menyatakan dengan
kalimat kiasan: “Teguhkan semangatmu untuk berikhtiar secara maksimal, sehingga
ketika Allah hendak menetapkan TakdirNya bagimu, Dia sudi berunding dahulu
denganmu”. Tentu ini adalah kalimat kiasan, untuk mendorong orang supaya tidak
cepat putus asa menghadapi tantangan dan rintangan yang dihadapinya.
Allah
membebaskan manusia untuk berkehendak dan berusaha mewujudkan kehendak itu.
Diapun memberi bekal setiap orang untuk berjuang di alam dunia ini. Bekal
pertama adalah sarana indera, yang dapat memahami bentuk dan warna, nada dan
keras lembutnya suara, harum dan busuknya bau, halus kasarnya permukaan benda,
manis pahitnya rasa, dan sebagainya. Bekal yang kedua adalah akal, yang mampu
menganilisis setiap kejadian serta proses yang menghasilkan kejadian tersebut
kemudian mengambil kesimpulannya. Bekal ketiga ialah ad-Din, agama, petunjuk
langsung dari Allah mengenai benar dan salah, baik dan buruk, manfaat dan
mudharat untuk dilakukan. Bekal keempat ialah hidayah taufiq yang menjadikan
orang mampu menjaga fitrahnya yang bersih, dan bersemangat untuk melaksanakan
setiap butir hukum Allah. Ini merupakan hak prerogative Allah untuk memberikan
kepada siapa yang dikehendaki-Nya. وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى دَارِ السَّلامِ
وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ – Allah menyeru manusia ke
Darussalam (surga), dan memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya ke
jalan yang lurus. [QS Yunus (10): 25].
TAUHID
DAN KEMANUSIAAN
Pembicaraan
tentang Ikhtiar Manusia dan Takdir Allah membawa kita kepada kesimpulan,
manusia tidak boleh menyerah kepada kenyataan-kenyataan yang dia hadapi di
lingkungannya. Setiap orang harus berjuang keras memenuhi
keinginan-keinginannya. Perjuangan keras dengan mengerahkan kemampuan akal dan
segala kemampuan lainnya disebut Jihad. Menyerah kepada keadaan bermakna
mengabaikan kemerdekaan yang menjadi hak dasar manusia. Dengan perkataan lain,
menyerah kepada keadaan berarti meniadakan kemanusiaan. Selanjutnya karena
manusia dengan sadar mengikatkan diri kepada Allah, maka perjuangan hidup yang
benar ialah yang ditujukan hanya untuk mengusahakan ridha (perkenan)
Allah, tidak bercampur dengan pamrih-pamrih lain yang rendah. Sikap demikian
disebut ikhlas. Al-Quran menggambarkan ikhlas itu seperti air susu
hewan, yang bersih murni dan memberi kesegaran bagi yang meminumnya, meski
kelenjarnya dekat dengan darah dan kotoran hewan tersebut [QS An-Nahl (16):66].
Perjuangan dengan niat tunggal yaitu mengharap ridha Allah disebut Jihad
fi sabilillah – perjuangan di jalan Allah. Itulah yang diperintahkan Allah
kepada manusia. Al-Quran menegaskan: وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ
مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ – Padahal mereka (manusia) tidak diperintah
kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama dengan lurus.
Orang
yang menyerah kepada keadaan berarti putus asa terhadap rahmah Allah. Sikap
demikian tidak dikehendaki Allah. Dia berfirman melalui lisan Nabi Ya’kub As:
وَلا تَيْأَسُوا مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِنَّهُ لا يَيْئَسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ
إِلا الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ – Dan jangan berputus asa terhadap rahmah Allah;
sesungguhnya tidak berputus asa terhadap rahmah Allah kecuali orang-orang yang
kafir [QS Yusuf (12):87]. Hidup duniawi bagi manusia merupakan untaian dari
ujian demi ujian. Maka orang harus senantiasa ikhtiar dan selalu dalam kondisi jihad
di jalan Allah. Orang yang tegar menjalaninya, akan memperoleh petunjuk Allah
Swt di dalam menghadapi ujian-ujian hidup itu. Dia telah berjanji: وَالَّذِينَ
جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ
الْمُحْسِنِينَ – Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami,
benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan
sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. QS
Al-Ankabut (29):69].
Telah
kita bicarakan bahwa manusia diberi kemerdekaan untuk berpikir, bersikap,
berpendapat, dan berbuat menurut kemauannya sendiri. Kemudian mengikuti sifat
dasarnya yang fitrah – suci dan cenderung kepada kesucian – sebagian orang
menggunakan kemerdekaannya untuk melepaskan diri dari ketergantungan kepada
segala sesuatu dan hanya bergantung kepada Allah, Pencipta, Pengatur dan
Penguasa semesta alam. Dengan perkataan lain, manusia yang merdeka menyatakan
dirinya beriman kepada Allah. Secara bahasa, iman berarti percaya, tetapi bukan
hanya percaya kepada adanya Allah. Al-Quran menggariskan definisi Mukmin –
orang yang beriman sebagai: الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ
يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ –
orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak
ragu-ragu (terhadap imannya itu) dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa
mereka pada jalan Allah. [QS Al-Hujurat (49):15]. Itulah keyakinan tauhid
– keyakinan kepada Tuhan yang Maha Esa, Allah Swt. Lawan dari sikap tauhid
adalah syirik – menyekutukan Allah, menganggap ada kekuasaan atau
kekuatan lain yang setara dengan Allah. Pelakunya disebut Musyrik. Sikap
syrik berarti menghambakan diri secara tidak benar, sikap ini
menghancurkan kemerdekaan dan kemanusiaan. Maka syirik adalah kejahatan
kemanusiaan yang terbesar [QS Luqman (31):13].
Orang
yang beriman menduduki posisi sebagai ‘Abdullah – hamba Allah dan Khalifatullah
fil ardhi – petugas yang “mewakili” Allah dalam mengatur bumi. Dalam
melaksanakan tugasnya pada dua posisi tersebut, orang beriman harus mematuhi
segala ketetapan Allah yang disampaikan oleh para Rasul-Nya. Barangsiapa tidak
menjalankan hukum Allah, dia kafir – orang yang ingkar, dia dzalim – orang yang
aniaya, terutama kepada diri sendiri, dan dia fasiq – orang yang bergelimang
dosa. [QS Al-Maidah (5):44,45,47]. Tugas pertama manusia sebagai pengatur bumi
ialah mengatur dirinya sendiri di dalam berinteraksi dan berkomunikasi satu
sama lain, di dalam bingkai ketaatan kepada Allah. Mengikuti alam raya, manusia
secara sadar berusaha menciptakan harmoni di dalam masyarakat. Keselarasan
hidup bermasyarakat menghasilkan kesejahteraan dunia dan kebahagiaan akhirat.
Dalam
tulisan terakhir kita bicarakan bahwa lawan tauhid adalah syirik,
menjadikan sesuatu sebagai sekutu atau kawan bagi Allah, karena memiliki
kekuatan, keagungan, kekuasaan, yang setara dengan Allah. Berdasarkan
keterangan Al-Quran dan Al-Hadits, ulama membagi syirik ke dalam dua
golongan besar yaitu syirik akbar atau syirik jali (syirik besar)
dan syirik asghar atau syirik khafi (syirik kecil atau syirik
samar-samar). Syirik akbar adalah sikap dan perbuatan yang secara jelas dan
terang-terangan menganggap ada tuhan-tuhan yang bukan Allah. Orang-orang Arab
pra Islam (jahiliyah) memuja patung-patung berhala yang mereka ukir sendiri
lalu mereka namai al-Lata, al-Uzza, Manat dan sebagainya. Orang-orang itu
mengaku percaya kepada Tuhan yang satu, yang juga mereka sebut Allah. [QS
Al-'Ankabut (29):61]. Tetapi mereka memegang kepercayaan ajaran kakek moyang,
bahwa Allah tidak berkenan untuk berkomunikasi langsung dengan manusia, dan
manusia tidak dapat berhubungan langsung dengan dia. Untuk berkomunikasi dengan
Allah orang memerlukan perantara (mediator, washilah), yaitu berhala-berhala
tersebut. Mereka mengatakan bahwa pemujaan kepada berhala merupakan tatacara
untuk mendekat sedekat-dekatnya kepada Allah. Tetapi dalam kenyataannya mereka
mempertuhankan berhala-berhala tersebut.
Keyakinan
memuja berhala itu sudah dianut orang sejak dahulu. Kaum Nabi Nuh menyembah
patung-patung yang mereka namai Wadd, Suwaa, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr [QS Nuh
(71):23]. Kaum-kaum lain juga melakukan yang serupa. Maka missi utama yang
dibebankan Allah kepada Rasul-rasul-Nya adalah menghapuskan syirik dan
menegakkan tauhid. Al-Quran menyebut empat orang Rasul (Nuh. Hud, Shalih,
Syu’aib) yang menyeru umat masing-masing dengan kalimat yang persis sama: يَا
قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ – Wahai kaumku
sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain Dia [QS Al-A'raf
(7):59,65,73,85]. Empat Rasul tersebut merupakan representasi dari semua utusan
Allah.
Adapun
syirik asghar atau syirik khafi ialah kepercayaan yang secara
tidak langsung menganggap ada kekuasaan lain yang setara dengan kekuasaan
Allah. Ketika orang menganggap obat sebagai penyembuh penyakit, atau menyatakan
diri tidak mampu hidup tanpa berdampingan dengan si anu, atau mempercayai
seseorang mempunyai kesaktian yang adi kodrati, atau hanya dapat berbahagia
bila memiliki harta yang banyak, itu adalah syirik kecil. Demikian pula orang
yang menganggap dirinya lebih dari orang-orang lain sehingga berhak
mengeksploitasi mereka, atau orang merasa berhak untuk memperoleh pujian dan
sanjungan orang lain (riya), dia telah masuk ke dalam golongan musyrik
kecil atau musyrik samar-samar.
Karena
syirik merupakan lawan tauhid, maka orang yang berkeyakinan tauhid berusaha
keras menyingkirkan syirik dari dirinya dan dari sebanyak mungkin orang di
lingkungannya. Orang-orang yang berhasil melaksanakan usaha itu dinyatakan
Al-Quran sebagai: الَّذِينَ يُبَلِّغُونَ رِسَالاتِ اللَّهِ وَيَخْشَوْنَهُ وَلا
يَخْشَوْنَ أَحَدًا إِلا اللَّهَ وَكَفَى بِاللَّهِ حَسِيبًا – orang-orang yang
menyampaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada
merasa takut kepada siapa(pun) selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai
Pembuat Perhitungan [QS Al-Ahzab (33):39]. Sikap tauhid mewujudkan tujuan hidup
yang tunggal yaitu mengusahakan ridha Allah, kepribadian yang utuh
sebagai pengabdi Allah, dan kedudukan di dalam masyarakat yang serasi sebagai
sesama pengabdi Allah. Individualitasnya diliputi oleh semangat kebersamaan,
tidak terpecah apa lagi berlawanan dengan eksistensinya di dalam lingkungan
sosial. Dia mengambil bagian penuh di dalam mencipta dan menikmati kebaikan
dari peradaban dan kebudayaan.
Karena
orang beriman dengan sadar dan suka rela menempatkan dirinya sebagai pengabdi
Allah, seluruh aktivitasnya sejak bangun tidur sampai tidur lagi, bahkan juga
tidur itu sendiri, dilakukan dalam kesatuan dengan semangatnya melaksanakan
Kehendak Allah. Dia mengusahakan kekayaan, ilmu, kedudukan sosial, dengan niat
“karena Allah” dan selalu mengikuti hukum-hukum Allah. Maka dalam dirinya
menyatu keinginan untuk memperoleh kepuasan lahir dan batin, serta kebahagiaan
di dunia dan akhirat. Tidak ada pembagian dua (dikotomi) di antara keduanya.
Dia selalu beramal saleh. Amal artinya perbuatan yang disengaja, yang didasari
niat, sedangkan saleh bermakna selaras; dalam hal ini selaras dengan Kehendak
Allah. Amalnya didorong dan didasarkan kepada iman, dan sebaliknya imannya
semakin menguat karena amal baiknya. Karena itu dalam banyak sekali ayat,
Al-Quran meletakkan perkataan “amal” dalam satu nafas dengan “saleh”. Allah
menggembirakan hamba-Nya yang baik dengan penegasan-Nya: وَالَّذِينَ آمَنُوا
وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
– Dan orang-orang yang beriman serta beramal shaleh, mereka itu penghuni surga;
mereka kekal di dalamnya. [QS Al-Baqarah (2):82].
Keyakinan
tauhid: bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta, Pengatur, dan Penguasa
alam beserta segala penghuninya termasuk manusia, mengantarkan pengertian bahwa
selain Allah adalah makhluk, yang dicipta, diatur dan dikuasai Allah. Maka
semua orang pada dasarnya sama derajatnya. Tidak ada kemuliaan yang diperoleh
dengan sendirinya (karena suku, bangsa, keturunan, kekayaan, gender). Kemuliaan
didapat seseorang karena usahanya untuk bertakwa kepada Allah. Al-Quran
memaparkan firman Allah: إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ –
Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling takwa di
antara kamu. [QS Al-Hujurat (49):13]. Sikap musawwah – mengakui kesamaan
derajat dan persamaan hak serta kewajiban, adalah sikap sejati setiap Mukmin.
Al-Quran mengecam keras orang-orang yang mengagungkan diri karena beberapa
kelebihan yang dimilikinya. (Fir’aun karena kekuasaannya, Qarun karena
kekayaannya). Seorang Mukmin seharusnya berendah diri kepada Allah dan berendah
hati (tawaddhu’) kepada sesamanya. Rasulullah Saw menegaskan hal ini: Antum
Banu Adam wa antum min turab – Kamu sekalian adalah anak keturunan Adam dan
kamu sekalian berasal dari tanah (Al-Hadits).
Kesadaran
akan eksistensi setiap orang sebagai hamba Allah dan keturunan Adam, seharusnya
menggerakkan hati manusia untuk saling menyayangi dengan tulus. Rasulullah
menyatakan: “Al-mu’minu lil mu’mini kal bunyaan yasyuddu ba’dhuhu ba’dha
– orang Mukmin terhadap Mukmin lain bagaikan sebuah bangunan, yang
bagian-bagiannya saling menguatkan”. Maka beliau memerintahkan kepada umat: “Irhamuu
ahlal ardhi yarhamkum man fis samaa-i – sayangilah penduduk bumi, niscaya
Yang di langit akan menyayangimu”. Kasih sayang ini lalu direalisaikan dalam
bentuk ta’awun – kerjasama di antara manusia. Orang yang masing-masing memiliki
kelebihan dan kekurangan, mutlak harus bekerja sama untuk mendapatkan kebutuhan
hidupnya – lahir maupun batin – yang tidak berbatas. Kerjasama harus ditujukan
untuk kebaikan semua orang, bukan untuk menyulitkan sebagian mereka [QS
Al-Maidah (5):2]. Termasuk bekerjasama adalah : saling memberi nasihat, saling
mengingatkan, dan saling mencegah berbuat buruk. Rasulullah Saw menyatakan:
“Tolonglah saudaramu, yang didzalimi maupun yang dzalim”. Sahabat bertanya:
“Bagaimana menolong orang yang dzalim?” “Dengan menahan tangannya (dari
melakukan kedhzaliman)”.
INDIVIDU
DAN MASYARAKAT
Manusia
lahir sebagai individu, tetapi segera setelah itu dia berada di dalam
masyarakat. Sebagai individu setiap orang mempunyai sifat dan potensi-potensi
lahir dan batin yang khas. Di dalam masyarakat sifat dan potensi seseorang
berinteraksi dengan sifat dan potensi orang-orang lain, didorong serta dibatasi
oleh orang-orang lain. Potensi dan kemampuan masing-masing orang itu
berbeda-beda, bukan hanya dalam tingkatannya tetapi juga bidang kekhususannya.
Perbedaan itu penting bagi manusia, karena dengan itu orang dapat mencurahkan
kemampuannya secara optimal di dalam lingkup yang lebih terbatas. Maka
masyarakat mencakup orang-orang dari berbagai profesi. Allah menyatakan dalam
Al-Quran: نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا –
Kami (Allah) membagi-bagi penghidupan manusia itu di dalam kehidupan dunia [QS
Az-Zuhruf (43):32].
Berbeda
dengan makhluk-makhluk lain, kebutuhan manusia merupakan paduan dari keperluan
lahir dan keinginan batin. Orang makan bukan sekedar memasukkan zat-zat yang
diperlukan tubuh, tetapi juga yang bergizi tinggi, lezat di lidah, sedap
dipandang, diletakkan di wadah-wadah yang serasi, dan sebagainya. Orang
berpakaian bukan hanya untuk melindungi tubuh dari sengatan cuaca, tetapi juga
yang enak dipakai, serasi dengan pemakainya, bahkan yang diapresiasi orang
lain. Orang menjadikan rumah bukan sekedar sebagai tempat berteduh, tetapi juga
wahana berkomunikasi, bahkan dapat menjadi sarana ekspresi diri. Selain dari
kebutuhan-kebutuhan yang bermula dari hal-hal lahiriah itu, orang juga
membutuhkan pengakuan akan eksistensi dirinya, menginginkan kedudukan sosial,
kekuasaan, cinta kasih, dan sebagainya. Kita dapat mengatakan bahwa kebutuhan
manusia itu tidak berbatas. Semua kebutuhan manusiawi itu hanya bisa dipenuhi
dengan cara bekerja sama di dalam masyarakat. Mengapa? Karena kemampuan
individual itu sangat terbatas. Manusia tidak mungkin memenuhi kebutuhannya
bila setiap orang harus menaman padi sendiri, berburu hewan sendiri, memasak
sendiri, menenun dan menjahit pakaiannya sendiri, mengajar anak-anaknya
sendiri. Bila dipaksakan seperti itu maka kemampuan individual yang ada pada
masing-masing orang tidak akan berkembang.
Dengan
bekerja sama, yang berarti saling memberi dan menerima, manusia dapat
memperoleh kebutuhan-kebutuhannya secara optimal. Kebutuhan yang sangat banyak
dan beragam itu tidak mungkin diperoleh seseorang, hanya dengan usaha sendiri
semata-mata. Tidak mungkin seseorang bertani mengurus sawah dan ladang, tetapi
juga menjahit bajunya sendiri, dan mengajar anak-anaknya sendiri, dan membangun
rumahnya sendiri, dan seterusnya. Tidak mungkin pula seorang guru menanam padi
sendiri dan membangun rumahnya tanpa bantuan orang lain. Perkembangan budaya
hanya diperoleh bila orang bekerja sama secara serasi. Maka kerjasama merupakan
keharusan bagi orang-orang yang berkeinginan maju.
Setiap
individu manusia dikaruniai Allah hak dasar, yaitu kemerdekaan. Dia bebas
memilih profesinya, tempat tinggalnya, bahkan juga keyakinan yang dianutnya.
Agama, yang diturunkan untuk menjadi pedoman hidup di dunia, tidak dipaksakan
tetapi ditawarkan kepada manusia. Allah menandaskan hal ini: لا إِكْرَاهَ فِي
الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ – Tidak ada paksaan untuk
(memasuki) agama; sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang
sesat. [QS Al-Baqarah (2):256]. Rasul ditugasi untuk menyampaikan kebenaran itu
kepada manusia, tetapi tidak dibebani kewajiban untuk meng-Islamkan manusia.
Pilihan bebas itulah yang menjadikan orang diminta tanggung jawabnya atas apa
yang dia kerjakan selama berada di dunia. وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ
شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ – – Katakanlah (wahai Rasul):
Kebenaran (yang aku sampaikan ini) dari Tuhanmu. Maka barangsiapa mau silakan
beriman dan barangsiapa mau silakan menjadi kafir [QS Al-Kahfi (18):29].
Di
dalam masyarakat, kemerdekaan individual seseorang pasti berhadapan dengan
kemerdekaan orang lain. Maka kemerdekaan yang merupakan hak asasi seseorang itu
harus diselaraskan dengan hak asasi yang dimiliki orang-orang di lingkungannya.
Tahap pertama dari usaha penyelarasan itu adalah pengendalian nafsu. Sebelum
ini telah kita bahas, bahwa nafsu, meskipun merupakan potensi yang
menggairahkan manusia untuk mengembangkan budayanya, cenderung berlebihan
melewati takaran. Nafsu yang tidak dikendalikan akan merusak hubungan dengan
Allah dan hubungan dengan sesama manusia. Al-Quran mengartikulasikan kesadaran
Yusuf As: إِنَّ النَّفْسَ لأمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلا مَا رَحِمَ رَبِّي –
Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada keburukan, kecuali nafsu yang
mendapat rahmah Tuhanku [QS Yusuf (12):53]. Nafsu yang dirahmati Allah adalah
yang dikendalikan dengan semestinya. Bila orang membiarkan nafsunya berkembang
melampaui batas, dia tidak pernah puas dengan segala yang dimilikinya. Setiap
kali memperoleh sesuatu, dia ingin yang lebih lagi, begitu seterusnya.
Rasulullah Saw menggambarkan hal ini: “Apabila seseorang sudah memiliki dua
lembah penuh emas permata, dia masih berusaha mendapatkan lembah ketiga.
Padahal yang dia perlukan ketika mati hanyalah sepetak tanah untuk mengubur jasadnya”.
Keinginan memenuhi kebutuhan tanpa batas pasti merugikan orang lain. Sedangkan
membiarkan setiap orang memperjuangkan keinginannya tanpa batas, berarti
memberi kesempatan bagi yang kuat untuk menghimpit yang lemah, dan yang cerdik
memaksanakan kehendak kepada yang bodoh. Kondisi demikian itu tidak adil,
karena setiap orang adalah makhluk Allah, yang memiliki hak untuk menikmati
“pelayanan” alam kepada dirinya. Al-Quran menerangkan dengan amat jelas: Dan
Dia (Allah) menundukkan untukmu (manusia) apa yang ada di langit dan apa yang
ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari-Nya [QS Al-Jatisyyah (45):13].
Allah
menundukkan alam raya ini untuk melayani semua orang, bukan hanya yang kuat
atau yang cerdik saja. Karena itu pembatasan atas kemerdekaan setiap anggota
masyarakat merupakan keniscayaan; maka masyarakat harus mematuhi hukum yang
adil bagi semua orang. Tetapi bila ketetapan hukum itu sepenuhnya diserahkan
kepada manusia sendiri, obyektivitas tidak akan didapatkan. Setiap orang pasti
akan memperjuangkan kepentingannya sendiri dengan mengabaikan hak-hak orang
lain. Maka hukum yang mengatur manusia harus didasarkan kepada ketetapan dari
yang Maha menyayangi semua orang, dan yang Mahatahu serta Mahabijaksana, Allah
Swt. Orang hanya menjabarkan norma-norma keadilan yang digariskan Allah
tersebut, supaya dapat menyesuaikan diri dengan kondisi yang senantiasa
berubah. Barangsiapa menganggap mampu mengatur dirinya sendiri tanpa campur
tangan Allah, dan karena itu menolak ketetapan Allah, dia kafir (durhaka),
dzalim (aniaya, terutama kepada diri sendiri), dan fasiq (bergelimang dosa) [QS
Al-Maidah (5):44,45,47].
Keadilan
tidak dapat diwujudkan di masyarakat bila hanya mengandalkan aturan-aturan
hukum, karena orang pasti dapat mencari celah-celah di antara kaidah-kaidah
hukum yang menguntungkan dirinya. Ahli Hukum Mesir Abdul Qadir Audah
(1906-1954) menyatakan, hukum hanya akan berjalan dengan semestinya bila ada
ketaatan suka rela di dalam masyarakat terhadap hukum tersebut. Ketaatan yang
benar-benar suka rela terhadap hukum, hanya dimiliki oleh orang yang beriman
kepada Allah, Penguasa semesta alam dan manusia. Dia meyakini bahwa kelak di
akhirat setiap orang akan diadili oleh Allah pribadi, dengan keadilan yang
sempurna. Maka dia lebih takut menghadapi pengadilan Allah dibanding pengadilan
manusia. Orang beriman mematuhi hukum karena Allah memerintahkannya. Adil tidak
mementingkan diri atau golongan sendiri. Allah berfirman: يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ
عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالأقْرَبِينَ – Wahai orang-orang yang
beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi
karena Allah walaupun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum
kerabatmu. [QS An-Nisa (4):135]. Adil memberikan hak-hak orang lain, termasuk
yang tidak disukai: وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلا تَعْدِلُوا —
Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu
untuk berlaku tidak adil [QS Al-Maidah (5):8].
Norma-norma
yang digariskan Allah tidak hanya berada dalam angan-angan orang beriman,
tetapi telah diwujudkan dengan nyata. Pada masa Rasulullah Saw orang tidak ragu
mengakui kesalahannya, walaupun tahu bahwa fakta yang dia beberkan tersebut
merugikan dirinya. Bahkan ada yang mengaku telah berzina, meski tidak ada
seorangpun selain pelaku yang mengetahuinya, dan dia tahu benar bahwa hukuman
bagi pezina adalah hukuman maksimum. Kaum muslimin memperoleh kejayaannya,
tatkala ketetapan hukum yang didasarkan kepada syari’ah Allah diundangkan dan
dilaksanakan dengan jelas serta tegas, dan di pihak lain masyarakat menerimanya
sepenuh hati. Kejayaan lenyap ketika kaum muslimin meninggalkan ajaran agamanya
untuk mengikuti pola pikir dan tatalaksana masyarakat yang dilakukan
orang-orang lain. Padahal Rasulullah Saw telah memperingatkan sebelumnya:
“Sungguh kamu akan mengikuti orang-orang yang kamu kagumi, sejengkal demi
sejengkal dan sehasta demi sehasta, sedemikian sehingga ketika orang-orang yang
kamu ikuti itu masuk liang landak, kamu tetap mengikutinya juga”. Seseorang
bertanya: “Apakah yang kami ikuti itu kaum Yahudi?’ maka Rasul menjawab: “Siapa
lagi?”.
KEADILAN
SOSIAL DAN EKONOMI
Telah
kita bicarakan bahwa di dalam masyarakat terjadi tarik menarik antara usaha memenuhi
kepentingan individual dengan kepentingan bersama. Apabila masyarakat memberi
kebebasan penuh kepada anggotanya untuk berusaha memenuhi kepentingan dirinya
tanpa batas, akan terjadi pertarungan antar pribadi atau antara
kelompok-kelompok yang bersekutu. Kondisi demikian pasti menghancurkan
masyarakat itu sendiri. Al-Quran menerangkan hal ini: وَأَمَّا مَنْ بَخِلَ
وَاسْتَغْنَى – Dan adapun orang-orang yang kikir dan merasa dirinya serba
cukup, وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى – dan mereka tidak memercayai adanya balasan
Allah yang terbaik (bagi yang saling menyayangi dan bekerja sama),
فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى – maka Kami akan menyediakan baginya (jalan) yang
sukar. [QS Al-Lail (92):8-10]. Sebaliknya bila kepentingan bersama saja yang
diusahakan, potensi-potensi individual tidak berkembang dengan semestinya;
akhirnya yang rugi adalah juga manusia itu sendiri.
Maka
usaha memenuhi kepentingan pribadi dan kepentingan bersama harus saling
diselaraskan. Paduan yang harmonis atas kepentingan-kepentingan anggota masyarakat
itulah keadilan. Maka masyarakat harus menegakkan keadilan, dengan mengikuti
ketetapan-ketetapan dasar yang digariskan Allah, dan dengan penafsiran dan
penjabaran yang diputuskan bersama oleh seluruh anggota masyarakat. Usaha
demikian yang dilakukan secara berkesinambungan merupakan jalan menuju takwa.
[QS Al-Maidah (5):8]. Masyarakat harus melakukan musyawarah untuk menegakkan
keadilan di berbagai bidang kehidupan. Selanjutnya tatkala musyawarah telah
menghasilkan keputusan bersama, segenap anggota masyarakat berserah diri kepada
Allah, tidak lagi mengungkit-ungkit apa yang telah menjadi ketetapan bersama.
Allah Swt pasti mengucurkan barakah-Nya kepada masyarakat yang telah
menjalankan petunjuk-Nya dengan baik. [QS Ali Imran (3):159].
Keadilan
adalah kondisi yang harus ditegakkan di dalam masyarakat oleh segenap anggota
masyarakat itu sendiri. Keadaan demikian hanya dapat terwujud apabila segenap
komponen masyarakat memiliki jiwa silaturahim – rasa kasih sayang yang
tinggi, sebagai pancaran dari ikatan batinnya yang kuat dengan Allah Swt. Agama
mengajarkan bahwa hablun minallah – hubungan baik dengan Allah, harus
membekas nyata dalam hablun minannas – hubungan baik dengan sesama
manusia. Sebaliknya hablun minanas mesti dilandasi oleh oleh hablun
minallah. Al-Quran memaparkan peringatan Allah: ضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ
الذِّلَّةُ أَيْنَ مَا ثُقِفُوا إِلا بِحَبْلٍ مِنَ اللَّهِ وَحَبْلٍ مِنَ
النَّاسِ – Manusia diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika
mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan
manusia. [QS Ali 'Imran (3):112]. Maka aktivitas ibadah mahdhoh (ritual)
mesti menghasilkan kegiatan mu’amalah (sosial) yang baik, antara lain
menegakkan keadilan. Orang yang shalat dikatakan “celaka”, apabila shalatnya
dilakukan dengan hati yang lalai, tidak dihayati sehingga tidak menghasilkan
apa-apa bagi kebaikan diri sendiri maupun sesama manusia [QS Al-Ma'un (107):4].
Untuk
itu diperlukan segolongan orang yang menjadi pemimpin. Merekalah yang
memelopori, menganjurkan, dan menyemangati semua orang untuk berbuat yang benar
yaitu yang bermanfaat bagi orang-orang lain, dan menghindari yang salah yakni
yang merugikan masyarakat secara keseluruhan. Para pemimpin itu harus
diciptakan dengan kegiatan pengkaderan yang dirancang dengan sebaik-baiknya [QS
Ali 'Imran (3):104]. Metode pengkaderan bermacam-macam, yang bukan hanya
meningkatkan kemampuan teknis dan kerjasama, tetapi terutama memantapkan
karakter yang ungggul sehingga dapat menjadi teladan kebaikan (uswatun
hasanah) bagi masyarakat yang dipimpinnya. Pemimpin adalah orang yang
dibebani tugas membina kesejahteraan lahir batin bagi orang-orang yang
dipimpinnya. Maka agar dapat melaksanakan tugas itu dengan semestinya, dia
berhak memberi perintah dan perintahnya harus dipatuhi oleh masyarakatnya. [QS
An-Nisa (4):59].
Masyarakat
adalah himpunan orang-orang yang mempunyai kesamaan, mulai dari kesamaan tempat
tinggal, etnis, profesi, sampai kepada keyakinan; mereka bekerja sama untuk
mewujudkan keinginan-keinginan bersamanya. Bentuk masyarakat yang terpenting
dan karena itu paling berpengaruh kepada anggotanya adalah Negara. Yang disebut
Negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena memiliki wewenang
yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih besar daripada individu atau
kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat tersebut (Harold J Laski). Yang
memegang kepemimpinan Negara adalah Pemerintah, yaitu pemegang kekuasaan di
tingkat lokal, regional, dan nasional, di dalam bidang-bidang tertentu
(eksekutif, legistalif, dan yudikatif). Maka Pemerintah merupakan otoritas yang
paling bertanggung jawab untuk menegakkan keadilan di seluruh wilayah Negara.
Tugas Pemerintah yang terpenting adalah: menjamin kemerdekaan individual dan
kemerdekaan kelompok di dalam Negara, dengan mengutamakan kebersamaan atas
dasar persamaan kemanusiaan.
Pemerintah
dibentuk oleh warganegara dan memperoleh kewenangannya dari warga Negara.
Sebagai konsekuensinya, setiap warga Negara wajib patuh kepada Pemerintah yang
telah diberinya kewenangan itu. Bagi seorang mukmin, ketaatannya kepada
Pemerintah merupakan bagian dari ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya. [QS
An-Nisa (4):59). Sebaliknya sebagai pemegang amanah dari warga Negara,
Pemerintah harus melaksanakan kewajibannya untuk menegakkan keadilan, dengan
mengerahkan seluruh potensi akal dan tenaga dengan sebaik-baiknya. [QS An-Nisa
(4):58]. Rasulullah Saw memeringatkan umat beliau: “Akan datang sesudahku
penguasa-penguasa yang memerintahmu. Di atas mimbar mereka memberi petunjuk dan
ajaran dengan bijaksana, tetapi bila telah turun mimbar mereka melakukan tipu
daya dan pencurian. Hati mereka lebih busuk daripada bangkai”. (HR.
Ath-Thabrani). Maka agar rakyat memperoleh keadilan yang optimal, sistem
pemerintahan ditetapkan oleh rakyat, dan orang-orang yang memegang tampuk
pemerintahan dipilih oleh dan dari rakyat sendiri.
Salah
satu usaha menegakkan keadilan yang sangat penting adalah keadilan di bidang
ekonomi. Manusia memerlukan banyak sarana penunjang hidupnya, baik yang berupa
kebutuhan lahiriah maupun batiniah. Allah menyediakan di bumi, bahan-bahan
untuk memenuhi kebutuhan manusia itu, lalu mempersilkan manusia untuk mengelola
dan merekayasanya dengan ilmu dan teknologi sehingga menjadi harta kekayaan
yang dapat dimanfaatkan secara optimal. Pada saat yang sama Allah menanamkan
kepada setiap orang, kesenangan kepada harta yang berada di alam dunia. Dia
berfirman: “Dijadikan indah dalam pandangan manusia, kecintaan kepada apa-apa
yang diingini yaitu: lawan jenis, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas,
perak, kuda-kuda pilihan, binatang ternak dan sawah ladang”. Tetapi Allah
mengingatkan dengan tegas: “Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah
tempat kembali yang baik” [QS Ali Imran (3):14]. Jadi kecintaan kepada harta
adalah manusiawi, tetapi orang harus ingat bahwa di akhirat ada kenikmatan yang
jauh lebih tinggi nilainya dan kekal. Kenikmatan akhirat itu akan diperoleh
orang-orang yang mengendalikan diri dalam meraih kesenangan-kesenangan
dunianya.
Harta
yang bahan-bahannya tersedia di bumi pada hakekatnya milik Allah Swt. Orang
boleh mengumpulkan dan menggunakannya, tetapi harus senantiasa ingat bahwa
Allah menyediakan harta dunia itu untuk semua orang, bukan hanya bagi
segolongan orang atau sebuah ras tertentu, bahkan bukan hanya untuk generasi
tertentu. Karena itu setiap orang harus menjaga nafsunya agar tidak menjadi
serakah dan boros, dan Pemerintah suatu Negara berkewajiban untuk mengatur
hak-hak warganya dengan adil. Tanpa aturan yang membatasi hak-hak warga Negara
secara adil, dan tanpa Pemerintah yang memiliki dan menggunakan otoritasnya
dengan bijak, warga dan kelompok-kelompok masyarakat akan bertarung terus
menerus untuk memperoleh harta kekayaan yang diinginkannya tanpa batas. Maka
tujuan didirikannya Negara, yaitu menyejahterakan warganya tidak pernah
tercapai.
Allah
memerintahkan setiap anggota masyarakat agar membatasi nafsunya di dalam
mengusahakan maupun menggunakan harta dunia. Dengan retorika yang sangat indah
Dia berfirman: “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (masuk)
masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” [QS Al-A'raf (7):31].
Rasulullah menjelaskan tentang hal itu dengan sabdanya, bahwa kelak di padang
Mahsyar tidak ada orang yang beranjak dari hadapan Allah sebelum diminta
pertanggungjawaban (a.l) tentang hartanya, dengan cara bagaimana diperoleh dan
untuk apa digunakan. Memperoleh harta dengan baik adalah dengan tidak
mengganggu hak-hak orang lain, seperti memakan riba [QS Ali 'Imran (3):130],
menipu, mengeksploitasi kelemahan orang lain, dan sebagainya. Menggunakan
hartanya secara patut diterangkan oleh Al-Quran dengan sangat jelas:
Orang-orang yang apabila membelanjakan harta tidak boros dan tidak pula kikir,
dan pembelanjaan itu di tengah-tengah antara keduanya”. [QS Al-Furqan (25):67].
Maka
orang beriman mengupayakan dan membelanjakan hartanya sebagai bagian dari
ibadah kepada Allah; ulama menyebut hal itu “ibadah maliyah“. Orang yang
beribadah, niatnya ikhlas “karena Allah” dan tata caranya sesuai dengan tujuan
syar’at lalu diperhitungkan secara kreatif, apa yang memberi manfaat optimal
kepada dirinya sendiri, keluarganya, dan masyarakatnya. Orang-orang yang
bersikap demikian itu adalah yang bertakwa; maka Allah menjanjikan kepada
mereka: وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ
بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالأرْضِ – Jika sekiranya penduduk negeri-negeri
beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari
langit dan bumi. [QS Al-A'raf (7):96]. Maka orang tidak perlu risau akan rizki
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Allah telah memberikan janji-Nya untuk
memenuhi kebutuhan manusia dengan menganugerahkan segala yang Dia miliki di
langit dan di bumi; janji Allah itu pasti Dia tepati [QS Yunus (10):55].
Kita
telah membicarakan keharusan untuk mewujudkan keadilan di bidang ekonomi, yaitu
pemenuhan kebutuhan setiap orang untuk memperoleh hak-haknya atas harta dunia
yang disediakan Allah untuk manusia seluruhnya. Kita mesti mengakui kenyataan
bahwa perbedaan kekayaan di antara anggota masyarakat selalu terjadi, karena
adanya perbedaan kemampuan masing-masing orang, perbedaan kesempatan dalam
memperoleh harta tersebut, dan perbedaan penghargaan masyarakat terhadap
berbagai profesi yang dapat dipilih. Selain itu perbedaan kekayaan juga terjadi
karena ketidaksamaan kreatifitas dan kesungguhan masing-masing orang dalam
mengusahakan hak-haknya.
Dalam
masyarakat yang adil, perbedaan tersebut berada dalam batas-batas yang wajar;
masyarakat Madinah yang dipimpin Rasul pun mengenal adanya kelompok kaya dan
miskin. Kondisi wajar itu terjadi karena anggota masyarakat menyadari
keharusannya untuk ta’awun – bekerjasama demi kebaikan semua orang. Ta’awun
berarti saling memberi dan menerima, saling menolong dan menerima. Yang
memiliki kekayaan berlebih membaginya dengan yang kekurangan, yang kuat
melindungi yang lemah, yang memiliki lebih banyak kesempatan untuk menempuh
usaha ekonomi membagi peluang tersebut kepada mereka yang kesempitan. Bahkan
orang yang mempunyai semangat lebih besar untuk berjuang mendorong anggota
masyarakat lainnya untuk melakukan hal yang sama. Pemerintah yang adil mengatur
lalu lintas saling memberi dan saling menolong itu dengan sebaik-baiknya. Semua
orang melaksanakan aktivitas ta’awun dengan ikhlas karena bekerja atas dasar
mengharapkan ridha Allah Swt. Mereka menganggap harta yang didapatnya sebagai
bekal yang lebih baik untuk beribadah kepada Allah.
Sebaliknya
dalam masyarakat yang tidak adil, tiap-tiap orang hanya mementingkan dirinya
sendiri, sehingga menjadi serakah yang bertambah-tambah. Keserakahan menjadikan
orang tega mengeksploitasi kelemahan orang lain, sehingga orang-orang tersebut
menghambakan diri kepadanya. Kedzaliman berlangsung, dilakukan oleh yang kuat
kepada yang lemah, yang cerdik kepada yang kurang pintar, yang kaya kepada yang
miskin. Maka jarak antara dua kutub tersebut semakin lama semakin lebar.
Pemerintah yang seharusnya melindungi kelompok lemah justru kemudian terkooptasi
oleh golongan kuat, sehingga dinamika masyarakat mengarah kepada kehancurannya
sendiri. Allah mengingatkan manusia akan proses yang pasti berlangsung dalam
situasi masyarakat yang tidak adil: “Dan jika Kami menghendaki hendak
membinasakan suatu negeri, Kami perintahkan orang-orang yang hidup mewah di
negeri itu untuk mengubah sikap, tetapi mereka melakukan kedurhakaan; maka
sudah sepantasnya berlaku ketetapan Kami, kemudian Kami hancurkan negeri itu
sehancur-hancurnya [QS Al-Isra (17):16].
Kejahatan
di bidang ekonomi yang menyeluruh adalah penindasan oleh Kapitalisme, yaitu
sistem ekonomi dan sosial yang cenderung kepada pengumpulan kekayaan oleh
individu tanpa pengendalian Negara. Yang dituju oleh kapitalisme adalah
keuntungan yang sebesar-besarnya oleh individu atau kelompok individu tanpa
memerhatikan kerugian pihak-pihak lain. Kekayaan yang dihimpun dan dimiliki
oleh individu tersebut kemudian digunakan untuk memeras orang-orang yang
berjuang mempertahankan hidupnya tetapi menyandang kelemahan dan kemiskinan,
sehingga mereka makin sengsara dan tidak berdaya. Orang-orang yang kuat itu
ditopang oleh berbagai kemampuannya memaksanakan persyaratan kerja dan hidup
kepada yang lemah. Karena itu menegakkan keadilan mencakup perjuangan yang
bersungguh-sungguh untuk memberantas kapitalisme. Allah berfirman: “Dan
timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan sesama
manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan
berbuat kerusakan”. [QS Hud (11):85].
Al-Quran
memberi contoh nyata tentang bentuk Kapitalisme yaitu Riba. Allah menurunkan
perintah yang amat jelas: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada
Allah dan tinggalkan sisa riba jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika
kamu tidak meninggalkan riba, ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan
memerangi kamu”. [QS Al-Baqarah (2):278-279]. Usaha memberantas Kapitalisme
dilakukan secara bersama dan terpadu oleh masyarakat dan Pemerintah. Masyarakat
melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar – mengajak kepada kebaikan dan mencegah
setiap kejahatan, melakukan pendidikan yang intensif kepada pihak yang menindas
agar menghentikan kejahatannya, serta pihak yang tertindas agar memperkuat diri
dengan kebersamaan dan kejasama yang baik. Pemerintah melakukan
restriksi-restriksi atas cara memperoleh dan menggunakan kekayaan. Cara yang
tidak bertentangan dengan kemanusiaan diperbolehkan, sedangkan cara yang
bertentangan dengan kemanusiaan dilarang dan dilawan. Allah Swt menjanjikan
kemenangan kepada kaum yang tertindas itu atas para penindas: “Dan Kami hendak
memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di muka bumi itu, dan hendak
menjadikan mereka pemimpin-pemimpin, dan menjadikan mereka orang-orang yang
mewarisi bumi”. [QS Al-Qashash (28):5].
Sebagaimana
ada ketetapan tentang cara memperoleh harta, juga ada ketentuan tentang
penggunaannya. Rasulullah Saw menyatakan, pertanggungjawaban manusia terhadap
harta mencakup keduanya. Pada dasarnya orang beriman memposisikan harta sebagai
modal ibadah kepada Allah. Mencukupi kebutuhan sendiri beserta keluarga, dan
membantu menyelesaikan kepentingan masyarakat adalah ibadah, karena pada
dasarnya kehidupan manusia adalah aktivitas mengabdi kepada Allah. Dia telah
menugasi setiap orang: قُلْ إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي
لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ – – Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku,
hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Pembina semesta alam”. [QS Al-An'am
(6):162]. Pernyataan “Katakanlah” tidak hanya bersifat lisan tetapi harus
diikuti dengan sikap dan perbuatan.
Allah
mengijinkan orang menggunakan harta yang diperolehnya dengan halal, untuk
memenuhi kebutuhannya sendiri, selama tidak melebihi rata-rata pemakaian dalam
masyarakat. Menggunakan harta secara berlebihan (tabdzir atau israf) dilarang,
karena merupakan provokasi terhadap orang-orang lain yang kekurangan. Orang
yang berbuat demikian bahkan dinyatakan sebagai kawan-kawan setan [QS Al-Furqan
(25):67]. Orang yang menjadi pemimpin atau tokoh masyarakat, seyogyanya menahan
diri dari bermewah-mewah, meskipun yang dibelanjakannya adalah harta sendiri
yang halal. Dia harus berempati kepada semua orang yang dipimpinnya; di antara
mereka ada yang berkekurangan harta. Sebaliknya, menyimpan harta secara
berlebihan dan kikir dengan hartanya itu, akan merugikan masyarakat pula.
Kekayaan merupakan potensi yang bila digunakan secara produktif akan bermanfaat
bagi seluruh masyarakat. Allah menyatakan tentang hal ini: “Ingatlah, kamu ini
orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) pada jalan Allah. Maka di antara
kamu ada orang yang kikir, dan siapa yang kikir sesungguhnya dia hanyalah kikir
terhadap dirinya sendiri. Dan Allah-lah yang Mahakaya sedangkan kamu-lah
orang-orang yang membutuhkan-(Nya); dan jika kamu berpaling niscaya Dia akan
mengganti (kamu) dengan kaum yang lain, dan mereka tidak akan seperti kamu
(ini)”. [QS Muhammad (47):38].
Kapitalisme
tumbuh subur di dalam masyarakat yang tidak berdasarkan tauhidullah –
keyakinan kepada Tuhan yang Maha Esa. Masyarakat menyatakan percaya kepada
Allah tetapi tidak menjadikan ketetapan-ketetapan-Nya sebagai garis-garis yang
membatasi halal dan haram serta baik dan buruk. Orang yang tidak mengakui Tuhan
yang Esa, dapat diperbudak oleh harta benda; dia mengusahakan dan mendapatkan
harta, tetapi kemudian hartanya justru mengarahkan jalan hidupnya. Rasulullah
Saw mengungkapkan kenyataan, orang-orang yang serakah ketika sudah memiliki dua
lembah penuh emas permata, masih mengusahakan lembah yang ketiga. Cara yang
mudah untuk mendapatkan banyak harta adalah dengan menerapkan kecurangan di
dalam segala aktivitas ekonomi, baik di sektor produksi maupun distribusi.
Produksi berlebih yang diusahakan para buruh, akan memperbesar kekuatan modal
majikan, dan kekuatan itu digunakan sang majikan untuk memeras buruhnya.
Majikan juga tidak lagi merdeka; dia tunduk kepada hukum perputaran modal yang
ada padanya, yang mendorongnya menjadi makin serakah dan bengis kepada sesama
manusia.
Maka
usaha untuk menguasai kekayaan dunia dan menghindari penguasaan harta atas
manusia, dilakukan dengan meningkatkan penghayatan semua orang akan eksitensi
Allah Swt, Pencipta dan Penguasa alam beserta segala isinya. Dengan penghayatan
demikian orang tidak tunduk kepada apapun dan siapapun, dan hanya tunduk kepada
Allah. Shalat merupakan tata upacara yang ditetapkan Allah bagi setiap
hamba-Nya untuk dzikir – mengingat, dan taqarrub – mendekat, kepada Allah.
Dengan dzikrullah dan taqarrub ilallah, maka hati menjadi tenteram [QS Ar-Ra'd
(13):28]. Orang yang hatinya tenteram tidak akan melakukan kejahatan, termasuk
kejahatan di bidang ekonomi [QS Al-'Ankabut (29): 45]. Tetapi shalat yang
mengarahkan manusia kepada kebaikan hanyalah yang dilakukan oleh fisik dan
jiwanya. Mereka yang lalai tentang shalatnya (tidak menunaikan dengan hatinya)
justru dikatakan sebagai orang-orang yang celaka [QS Al-Ma'un (107):4-5].
Telah
kita bicarakan bahwa dalam masyarakat yang adilpun tetap ada golongan kaya dan
golongan miskin. Perbedaan kekayaan disebabkan oleh perbedaan kemampuan
masing-masing orang dalam mengusahakan harta, perbedaan kesempatan berusaha,
dan perbedaan penghargaan masyarakat terhadap berbagai pekerjaan yang dipilih.
Di antara orang-orang miskin itu ada yang bahkan tidak mampu memenuhi
kebutuhan-kebutuhan primernya. Untuk menyelesaikan masalah itu Allah memerintahkan
orang beriman agar menunaikan shadaqah, di antaranya yang bernilai hukum wajib,
yaitu zakat. Al-Quran menyatakan dengan tegas: Ambillah zakat dari sebagian
harta mereka; dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka [QS
At-Taubah (9):103]. Zakat membersihkan harta dari hak Allah yang terdapat dalam
harta itu yang bila tidak dikeluarkan, seluruh harta menjadi kotor sehingga
tidak dapat digunakan. Zakat menyucikan hati pemilik harta dari nafsu-nafsu
buruk seperti serakah, sombong, dengki, dan sebagainya.
Setiap
orang beriman menyadari bahwa harta yang dimilikinya adalah karunia Allah, yang
disertai dengan aturan peruntukan yang digariskan oleh Pemberinya. Salah satu
di antaranya adalah untuk melaksanakan prinsip ta’awun – gotongroyong di
dalam masyarakat; antara lain yang kaya memberi kepada yang miskin. Ta’awun
mengeratkan tali silaturahim seluruh anggota masyarakat, sehingga
terhindar dari kejahatan yang bisa datang dari sebagian mereka. Dengan demikian
mukmin menghayati bahwa menunaikan zakat, sebagaimana perintah Allah yang lain,
adalah untuk kebaikannya sendiri. Maka dia melaksanakan ketetapan Allah itu
dengan sukarela dan gembira. Bahkan dengan senang hati pula mukmin mengeluarkan
dari hartanya, shadaqah sunnat, yang pasti mendatangkan kebaikan bagi pemberi
maupun penerimanya.
Karena
seperti telah kita bicarakan tadi, zakat adalah sebuah aktivitas yang suci dan
menyucikan, maka harta yang dizakati adalah yang halal. Sedangkan harta yang
didapat dengan cara-cara yang bertentangan dengan hukum, harus disita untuk
Negara. Pemerintah berkewajiban melaksanakan prinsip tersebut, karena tugas
pokok Pemerintah adalah menegakkan keadilan dan kebenaran di dalam seluruh
wilayah Negara. Bila tugas tersebut tidak ditunaikan – karena dorongan nafsu –
Pemerintah menjadi bagian dari penindas rakyat; maka Allah akan menolong pihak
tertindas untuk membebaskan dirinya dari ketidakadilan tersebut. [QS Al-Qashash
(28):5].
KEMANUSIAAN
DAN ILMU PENGETAHUAN
Kita
telah banyak membicarakan bahwa manusia yang memenuhi jati dirinya ialah yang
beriman tauhid, percaya sepenuhnya bahwa tidak ada yang mencipta, mengatur,
menguasai dan memiliki segala sesuatu kecuali Allah. Dia menetapkan
aturan-aturan bagi alam dzahir dan alam batin, bagi benda-benda mati, seluruh species
tetumbuhan, hewan, malaikat, jin dan manusia. Keyakinan demikian itu
menumbuhkan kesadaran dan semangat untuk bekerja keras bagi kebaikan manusia
sendiri dan alam raya. Kerja seperti itu dinamai amal saleh; amal artinya
perbuatan yang disengaja sedangkan saleh bermakna selaras dengan aturan-aturan
Allah. Amal saleh merupakan realisasi iman yang sejati. Al-Quran berulang kali
menegaskan hubungan tak terpisahkan antara keduanya, antara lain bahwa manusia
akan menderita kerugian yang sangat dalam mengarungi masa hidup di dunia yang
amat singkat ini, kecuali yang beriman dan beramal saleh. [QS Al-'Ashr
(104):1-3].
Dengan
uraian tadi maka menjadi sangat jelas bahwa untuk beramal saleh manusia perlu
mengetahui secara mendalam aturan-aturan Allah, yang telah Dia gariskan untuk
alam raya dan manusia sendiri. Al-Quran menyebut ketetapan-ketetapan Allah
tersebut sebagai “ayat”, dan Dia memberi kemampuan kepada manusia memahami
ayat-ayat-Nya, baik yang kauniyah – aturan yang dipelajari di dalam
alam, maupun yang tanziliah – diturunkan dalam bentuk wahyu kepada
Rasul-rasul-Nya. [QS Fushilat (41):53]. Aturan-aturan Allah yang pasti dan
tidak berubah itu [QS Al-Ahzab (33):62] menggerakkan dinamika alam yang terus
menerus tetapi dari waktu ke waktu membentuk harmoni. Ayat kauniyah dan ayat
tanziliah berasal dari Allah yang Esa, maka tidak mungkin ada pertentangan di
antara keduanya. Bila seseorang merasa ada konflik antara pengetahuan dari alam
dan dari wahyu, itu hanya dapat terjadi karena pemahamannya terhadap alam yang
keliru, atau penafsirannya atas wahyu yang salah, atau kedua-duanya tidak
benar.
Manusia
mendapatkan pengetahuan dari segala fakta berupa benda atau proses, yang
ditangkap dengan pancainderanya. Fakta tersebut diperhatikan dan diteliti
dengan saksama dengan mempertanyakan: apa itu, mengapa ada, bagaimana
terjadinya, bagaimana perkembangannya, dan sebagainya. Maka penelitian itu
menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang merupakan pengetahuan baru. Dari waktu
ke waktu manusia yang berada di berbagai tempat dan zaman menemukan pengetahuan
demi pengetahuan, menghimpunnya dengan rapih, lalu mensistematisasikan dengan
metoda tertentu; maka terbentuklah ilmu. Orang beriman menyadari benar bahwa
semua fakta dan peristiwa itu terjadi karena Kehendak Allah dan berlangsung
berdasarkan hukum Allah (Sunnatullah). Maka bagi mukmin, ilmu pada
dasarnya adalah pemahaman manusia terhadap Sunnatullah atau Takdir.
Hal ini telah kita bahas ketika membicarakan Takdir.
Sesungguhnya
ilmu bukan hanya merupakan himpunan pengetahuan (the body of knowledge)
tetapi juga cara berpikir (the way of thinking). Maka dengan ilmu orang
menjelajahi dunia yang sangat luas, mendorong diri sendiri dan masyarakatnya
untuk senantiasa bergerak maju di dalam proses yang tidak pernah berhenti.
Tetapi proses yang tidak dikendalikan dengan semestinya, akan menjadikan orang
kebingungan dalam menjalani hidupnya. Karena itu memelajari ilmu harus mencakup
dua bidang yang saling mendukung yaitu ilmu kauniyah dan ilmu tanziliah.
Orang yang sukses memahami keduanya disebut Ulul Albab, yaitu orang yang
senantiasa mengingat Allah, seraya memikirkan karya-karya agung Allah, sehingga
dia mengartikulasikan suara hatinya: “Wahai Tuhanku, sungguh tidak Engkau
jadikan segala sesuatu ini sia-sia. Semua serba indah, tiap-tiap unsur
berinteraksi satu sama lain membentuk harmoni, yang benar-benar memberi manfaat
kepadaku. Maka lindungi aku dari pikiran-pikiran sesat yang menjadikan aku
ditimpa siksa neraka”. [QS Ali 'Imran (3):191].
Ilmu
mencakup himpunan pengetahuan manusia yang sistematik tentang bumi dan langit
beserta segala isinya, tentang malaikat dan jin, serta tentang rohani manusia
sendiri. Fakta tentang kecenderungan serta sikap dan perbuatan manusia selama
keberadaannya di alam dunia, direkam di dalam sejarah. Maka sejarah merupakan
salah satu ilmu yang sangat penting untuk dipahami. Di dalam sejarah dicatat
bukan hanya rentetan perbuatan berbagai golongan dan kelompok manusia, tetapi
juga akibat-akibatnya bagi golongan itu sendiri dan bagi orang-orang yang
bersangkutan dengan perbuatan tersebut. Allah mengingatkan semua orang: قَدْ
خَلَتْ مِنْ قَبْلِكُمْ سُنَنٌ فَسِيرُوا فِي الأرْضِ فَانْظُروا كَيْفَ كَانَ
عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ – Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu
sunnah-sunnah Allah (hukum-hukum Allah tentang sejarah manusia); karena itu
berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang
yang mendustakan (Rasul-rasul). [QS Ali 'Imran 93):137].
Al-Quran
memaparkan sejarah kehidupan manusia dalam kurun waktu yang panjang, sejak
manusia pertama ada di bumi ini sampai dengan yang terjadi ketika Kitab Allah
ini diturunkan, bahkan juga disertai dengan paparan tentang apa yang akan
terjadi pada masa yang akan datang. Kebanyakan dari catatan tersebut berkenaan
dengan reaksi berbagai masyarakat yang didatangi oleh para Rasul – positif
maupun negatif – beserta akibat-akibatnya bagi mereka. Al-Quran kemudian
mengemukakan tujuan pemaparan sejarah tersebut yaitu: Pertama: Mengukuhkan iman
kepada Rasulullah Saw, seorang yang tuna aksara dan tidak pernah berguru kepada
siapapun tetapi mampu menceriterakan peristiwa masa dahulu dengan sangat baik.
Kedua: meluruskan kembali catatan sejarah, yang sering kali melenceng dari
kebenaran, baik karena kelalaian maupun kesengajaan. Ketiga: Menjadi pelajaran
serta peringatan bagi orang-orang yang beriman. Sebagaimana dikemukakan tadi,
dengan memelajari sejarah orang akan memahami Sunnatulah yang tetap mengenai
manusia, sehingga dengan pemahaman tersebut dia dapat mengoreksi diri bila
berada di jalan yang salah, dan meneguhkan hati tatkala berada di dalam
kebenaran [QS Hud (11):120].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar