Minggu, 11 November 2012

SEBUAH REFLEKSI : POTRET BURAM KONDISI PEMBANGUNAN HUKUM DI INDONESIA



POINT 1 DARI SKALA 4
SEBUAH REFLEKSI : POTRET BURAM KONDISI PEMBANGUNAN HUKUM DI INDONESIA

Kondisi kekinian bangsa indonesia terasa semakin berat bagi dunia penegakan hukum. Tidak saja karena wajah buram keadilan yang terekam jelas pada tahun sebelumnya, yang masih menjadi tumpukan berkas di meja para penegak hukum. Sebut saja, kasus Bailout Century, pemilihan deputi BI dan kasus yang saat ini masih hangat diperbincangkan yakni kasus (wisma atlet) yang menyeret berbagai petinggi parpol, serta berbagai kasus hukum yang lainnya yang sampai hari ini belum diputuskan perkaranya oleh lembaga peradilan dan terkesan sebagai perpanjangan tangan dari elite bangsa yang tidak berpihak pada rakyat kecil. Hal ini dipredikasi akan menjadi prolog panjang yang terus menyedot energi publik. Kereta tua yang membawa agenda pembenahan hukum seakan kian bergerak pada rel bercabang yang semakin tidak jelas arah, dan terkesan reaktif. Ditambah lagi berbagai kasus yang terjadi akhir akhir ini yang sangat terkesan sebagai scenario elit parpol dalam menuntaskan kepentingan mereka masing masing. Masyarakat tentunya tidak boleh dibiarkan terlena dengan evaluasi yang terkesan bagai “politik gincu” ini, sebab ini akan menjadi komsumsi publik yang sangat buruk. Dan dapat berakibat fatal bagi dunia pendidikan hukum Indonesia. Bayangkan saja ketika ternyata yang mengkomsumsi kasus kasus hukum yang buruk ini dikomsusmsi oleh kalangan anak-anak, bukankah ini akan berakibat fatal pada pola pikir dan reaksi aktual mereka. Dan tentunya semua ini kita tidak harapkan bersama.
Survey yang saya lakukan mendapatkan sebuah kesimpulan nyata bahwa persoalan hukum dari berbagai kasus yang telah menyeret para petinggi Negara ini di meja hijau ternyata hanya 15 % (persent) saja yang putusan perkaranya yang dinilai adil bagi masyarakat banyak dan selebihnya hanya menjadi momok menakutkan bagi masyarakat indonesia. Hal ini kemudian semakin diperparah oleh fungsi lembaga peradilan yang seyogyanya menjadi tumpuan harapan keadilan rakyat ternyata ikut andil dalam skenario yang dilakukan para elit parpol dan pada akhirnya rakyat kecil lah yang menjadi tumbal dari skenario ini. Apabila hal ini terus dibiarkan maka kurang dari lima tahun saja bangsa ini akan memposisikan dirinya dititik 2 dari skala 4, hal ini berarti Indonesia akan membangun ulang fondasi hukumnya . Keadaan ini mengacu pada kondisi hukum (produk dan implementasi) bangsa Indonesia yang sangat ‘amburadul’ dan kehilangan arah. Diperparah lagi dengan realitas hukum yang terjadi sampai hari ini masih menjadi kacamata buram bagi mereka yang mencari keadilan. Lihat saja bagaimana para elite politik bangsa indonesia melakukan berbagai pembiaran-pembiaran kasus hukum yang melibatkan relasi, family, dan kroni-kroni komunitasnya demi menjaga gerbong mereka masing-masing. Dan yang lebih lucunya lagi merka (golongan progresif) terkesan kaku dalam memainkan perannya dalam menghancurkan gerbong-gerbong elite (sebagai visi mereka). Mengapa saya katakan kaku, hal ini didasari oleh model main yang mereka lakukan hanya sebatas wacana di kursi goyang (ala-ala 86). Dalam setiap gerakan yang mereka lakukan tidak mempunyai orientasi nyata bagi masyarakat dan bangsa. Lihat, bagaimana kemudian golongan progresif dipaksa “menundukan kepala” dihadapan golongan elite. Apakah seperti ini realitas yang kita butuhkan ? ini bukan tentang apakah kita dapat makan hari ini atau tidak tetapi apakah kita akan menggugurkan niat dan membunuh kreatifitas kita hanya karena kekurangan segumpal lemak ditubuh ? sangat ironis dan sporadik ketika kemudian saya katakan bahwa Fondasi hukum yang telah jauh-jauh hari dibangun oleh para pelopor dan penggerak arah bangsa harus berani kita gadaikan secara nyata dan besar-besaran kepada mereka (elite) demi sebutir nasi. Ini bukanlah gerakan untuk mensucikan bangsa layaknya seorang malaikat yang tiba-tiba datang ke bumi ini. Akan tetapi, kita harus membuat sebuah gerak ideal yang dapat dan layak dipergunakan oleh masyarakat banyak. Ataukah jangan sampai (pemikiran sederhana saya) gerakan yang kita perbuat untuk bangsa ini akan dirasakan kepada sedemikian juta janin bayi yang notabene akan menjadi penerus bangsa dengan kondisi bangsa yang sangat amburadul dan sangat ironi. Lagi, lagi dan lagi saya harus katakan “sangat buram arah bangsa ini”.
Refleksi kehidupan sosial-hukum dalam kemajemukan masyarakat indonesia pada jaman sekarang ini sudah sangat cukup bnyak berfaedah bagi bangsa ini hanya saja lemahnya semangat juang, kurangnya mobilitas daya, dan kurangnya kesadaran akan solidaritas berkehidupan telah menjamur di setiap dimensi kehidupan bangsa indonesia. Kalau seperti ini keadaanya maka apa yang salah dengan carut marut bangsa ini ? seharusnya pertanyaan ini “haram” untuk kita lontarkan. Mengapa demikian, karena itu merupakan pertanyaan yang sejatinya bangsa itu sendiri yang melontarkannya. Lantas, pertanyaan seperti apa yang harus kita lontarkan, maka apa saja yang sudah kita berikan pada bangsa ini ? inilah pertanyaan yang sebenarnya lebih tepat untuk menggambarkan kondisi bangsa indonesia kekinian. Apakah ini merupakan kesalahan sistem ataukah ini adalah keadaan yang datang begitu saja tanpa sebab yang jelas. Ada satu (1) hal kondisi yang ingin saya uraikan pada bagian kali ini. Pernahkah kita sadari baik di alam bawah sadar kita maupun diluar alam sadar manusia bahwa mengapa kemudian bangsa indonesia saat ini begitu ruwet dengan berbagai macam kompleksitas yang dihadapinya ? ini merupakan peninggalan buah sejarah yang pernah ditorehkan para pendahulu sebelum kita. Banyak kemudian yang mengganggap bahwa kesalahan paling fatal dalam kehidupan berbagsa dan bernegara adalah rusaknya sistem yang ada. Padahal sejatinya kita telah melupakan satu hal yang paling subtansif yaitu munculnya krisis intelektualis masyarakat sebagai satu-satunya pencipta sistem yang ada. Saya ingin mengajak para pembaca untuk merefleksikan hasil dari pada reformasi yang kita agung-agungkan saat itu dengan begitu kentalnya. Kurangkah kita melihat bahwa kondisi yang lahir pada bangsa saat ini merupakan pemanis  yang lahir akibat reformasi (era reformasi 1998). Tidak ada yang salah dengan gerakan 1998, tapi penciptaan sebuah sistem bernegara pada saat itu (direkontruksinya sendi-sendi bernegara) yang masih sarat dengan kepentingan elite. Siapa bilang kalau era reformasi telah melahirkan kemerdekaan murni bagi bangsa ini. Sesungguhnya kita dipaksa untuk dapat melakukan perbaikan disegala dimensi yang sebenarnya telah menjerumuskan kita ke arah yang lebih buruk. Ketidakkonsistensinya arah bangsa, salah satu cirinya dapat kita lihat dan bahkan kita telah merasakan dampaknya. Kebebasan tanpa arah dan batas adalah faktor determinan yang paling tinggi. Olehnya itu, dengan akan direkontruksikannya kembali sistem hukum indonesia merupakan satu-satunya jalan untuk menggapai cita-cita reformasi karena apa yang dicita-citakan oleh pejuang reformasi  sampai saat ini belum tercapai. Maka dari itu kekuatan untukmembentuk sistem hukum baru yang lebih responsif dengan zaman merupakan sebuah keharusan yang tak bisa terbantahkan lagi. Dan Ini akan memaksa bangsa Indonesia merefresh kembali produk hukumnya.
Terakhir yang ingin saya sampaikan adalah pada dasarnya keadaan seperti ini adalah baik adanya, karena kita dapat mendekorasi ulang segala produk hukum kita, yang realitanya sampai hari ini masih belum bisa berpihak pada kaum minoritas (rakyat kecil). Tetapi kemudian, perlu kita pahami bersama bahwa apabila kenyataannya bangsa Indonesia harus merekontruksi kembali semua produk hukumnya, maka apakah menjamin para legislator dan pemerintah Indonesia dapat memberikan produk hukum yang benar-benar berpihak pada rakyat banyak, khususnya rakyat kecil ? dan apakah lembaga yustisi Indonesia dapat menjamin untuk mengaktualisasikan produk hukumnya yang baru ini lebih baik daripada yang lalu ? sesungguhnya pertanyaan ini agak sedikit sporadik namun ini akan menjadi starting point dalam pembenahan hukum di Indonesia. Dan ini akan menjadi home work bagi kita semua, khususnya bagi kalangan mahasiswa guna mengimplementasikan peran dan fungsinya secara nyata. Dan semoga Tuhan masih memberikan waktuNYA kepada kita guna menuntaskan kewajiban kita sebagai penyambung lidah rakyat dan umat. Terakhir yang ingin saya sampaikan bahwa Indonesia masih sangat membutuhkan konsep konsep kreatif dan karya nyata dari kalangan mahasiswa, khususnya kalangan mahasiswa hukum guna dapat memperbaiki kondisi hukum di Indonesia karena kesemuanya ini sesungguhnya bukanlah untuk kita sendiri melainkan untuk anak dan cucu kita sebagai pewaris harta kita dan sebagai regenerasi Negara Indonesia dan dunia tentunya.
Assalamualaikum Wr. Wb dan Salam Sejahtera Bagi Kita Semua. Amin.
By : Ahmad Iskandar Zulkarnaen

Sabtu, 10 November 2012

KARAKTERISTIK DAN PRINSIP-PRINSIP DEMOKRASI KONSTITUSIONAL

Berikut ini beberapa hal terkait dengan karakteristik demokrasi konstitusional yang ditandai dengan adanya unsur-unsur demokrasi di dalamnya yang berbasis pada prinsip-prinsip:
  • Demokrasi populis (popular democracy) yaitu menempatkan warga negara sebagai sumber utama otoritas pemerintahan yang mendapatkan hak untuk menjalankan roda pemerintahan dari rakyat.
  • Mayoritas berkuasa dan hak minoritas (majority rule and minority Rights) yaitu sekalipun pemerintahan dijalankan oleh suara mayoritas, namun hak-hak dasar individu dari kelompok minoritas dilindungi. Dalam konteks ini dapatlah dipahami bahwa sistem pemerintahan demokratis hanya mungkin dibangun jika kelompok minoritas dari warga negara mau menerima pemerintahan mayoritas, dan kelompok mayoritas benar-benar siap untuk menghormati hak-hak minoritas.
  • Pembatasan pemerintahan  (ligimited government) yaitu adanya pembatasan kekuasaan pemerintah yang diatur oleh undang-undang dan konstitusi baik tertulis maupun tidak tertulis.
  • Kekuasaan yang dibatasi oleh mekanisme dan intitusi (institusional and procedural limititation on power) yaitu adanya kepastian institusi dan prosedural yang membatasi kekuasaan pemerintahan yang meliputi 4 unsur dibawah ini:
  1. Pemisahan dan pembagian kekuasaan berdasarkan funsinya masing-masing yang meliputi kekuasaaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. meskipun masing-masing lembaga tersebut memiliki peran dan fungsi yang berbeda, ketiga lembaga ini harus melakukan pembagian kekuasaan atau kewenangan satu dengan lainnya. Maksud dari pemisahan ini adalah untuk menghindari menumpuknya kekuasaan pada satu tangan, baik itu dalam arti konstitusi maupun pribadi.
  2. Kontrol dan keseimbangan (check and balance) yaitu bahwa ketiga lembaga pemerintahan ini memiliki hak yang sama untuk saling melakukan kontrol sehingga tercipta keseimbangan peran dalam pemerintahan. Melalui mekanisme check and balance ini kemungkinan terjadinya penyalahgunaan dan kesewenangan kekuasaan dapat terhindari. Asumsi dari penerapan prinsip ini adalah bahwa manusia pada hakekatnya memiliki kecendrungan untuk melanggar aturan.
  3. Proses hukum (due process of law) yaitu bahwa keberadaan HAM dilindungi oleh adanya jaminan proses hukum yang dilakukan oleh lembaga-lembaga hukum. Dengan pengertian lain, setiap orang memperoleh perlakuan yang adil berdasarkan hukum yang berlaku.
  4. Suksesi kekuasaan melalui pemilihan umum (leadership succession trought election) yaitu bahwa posisi-posisi penting dalam pemerintahan (misalnya presiden dan wakilnya) ditentukan dan dijamin melalui mekanisme pemilihan umum yang dilakukan secara bertahap dan peralihan otoritas kekuasaan dilakukan secara damai dan tertib.
 sumber: diskusi analitis

Jumat, 09 November 2012

BENTUK NEGARA KESATUAN DAN NEGARA FEDERASI

Negara Indonesia merupakan sebuah negara yang berbentuk sebagai sebuah negara kesatuan. Negara kesatuan ini merupakan perefleksian masyarakat secara total, terpusat dan mandiri sebagai  bentuk representatif masyarakat yang utuh. Olehnya itu, untuk dapat lebih memahami model dari beberapa bentuk negara di dunia saat ini, saya akan mencoba memberikan sedikit gambaran tentang beberapa bentuk negara di era kontemporer yang lazim digunakan oleh beberapa negara dewasa kini.
Dalam teori negara modern saat ini, hanya 2 (dua) macam bentuk negara yang paling banyak diadopsi yakni negara  yang berbentuk sebagai negara kesatuan (unitarisme) dan negara serikat (federasi). Berikut ini merupakan penjelasan ringkas tentang model dari kedua bentuk negara tersebut.

1. Negara kesatuan/unitarisme
Negara Kesatuan merupakan suatu negara yang merdeka dan berdaulat, yang berkuasa satu pemerintahan pusat yang mengatur seluruh daerah/wilayah secara totalitas. Bentuk negara ini tidak terdiri atas beberapa negara yang menggabungkan diri sehingga menjadi sebuah negara seperti yang terjadi pada bentuk negara federasi, akan tetapi negara kesatuan memang lahir dari satu negara itu sendiri sehingga kewenangan berada pada satu pusat kewenangan yang memegang kekuasaan dalam negara. Adapaun bentuk-bentuk sistem dari negara kesatuan adalah sebagai berikut :
  • Negara kesatuan dengan sistem sentralisasi, dimana segala sesuatu dalam negara itu langsung diatur dan diurus oleh pemerintah pusat dan daerah-daerah tinggal melaksanakannya.
  • Negara kesatuan dengan sistem desentralisasi, dimana dalam suatu daerah dikepalai oleh seorang kepala daerah yang diberikan kesempatan dan kekuasaan untuk mengurus rumah tangganya sendiri (daerahnya) yang dinamakan sebagai daerah swatantra. Dalam sistem desentralisasi, daerah dibentuk dan didirikan berdasarkan kebutuhan masyarakat didaerah itu sendiri sehingga daerah mempunyai otoritas dalam meyelenggarakan kekuasaan pemerintahannya dengan memperhatikan pertimbangan dan masukan dari daerah administrasi (dekonsentrasi) dan pemerintah pusat. Jadi, daerah desentralisasi merupakan pengapresiasi dari negara terhadap masyarakatnya secara legal dan sesuai dengan representative NKRI.
  • Negara kesatuan dengan sistem dekonsentrasi, dimana sistem ini hampir sama dengan sistem desentralisasi akan tetapi sistem dekonsentrasi lebih kepada perpanjangan tangan dari pusat ke daerah dalam hal tugas pembantuan. Olehnya itu, bagi daerah-daerah yang terangkum dalam satu kesatuan kenegaraan diperbantukan olehnya seorang kepala daerah yang sifatnya administratif  dan mengepalai  daerah-daerah desentralisasi tersebut guna dapat membantu menyesuaikan antara hubungan pemerintah pusat dan daerah sehingga nantinya kebijakan dan program kerja pusat dan daerah dapat sejalan. Kepala daerah administratif juga dapat diberikan kewenangan untuk dapat melaksanakan kegiatan didaerah administratifnya akan tetapi kewenangan itu hanya beberapa hal tertentu saja yang telah diamanatkan pemerintahan pusat.
2. Negara Serikat/Federasi
Yang dimaksud dengan negara serikat  (federasi) ialah suatu negara yang tergabung dari beberapa negara-negara bagian sehingga membentuk suatu negara serikat. Negara-negara bagian ini pada awalnya merupakan negara yang merdeka dan berdaulat serta berdiri sendiri. Dengan menggabungkan dirinya kedalam suatu negara serikat maka secara otomatis ia melepaskan sebagian wewenang dan kekuasaannya kepada negara serikat tersebut. kekuasaan yang diserahkan itu disebut dengan sebuah demi sebuah (limitatif) yang merupakan delegated powers (kekuasaan yang didelegasikan). Dalam negara serikat, kekuasaan yang sebenarnya ada pada negara bagian itu sendiri, hal ini disebabkan karena masyarakat lebih bersentuhan langsung dengan negara bagian. Penyerahan kekuasaan dari negara-negara bagian kepada negara serikat hanya hal-hal yang berhububgan dengan luar negeri, pertahanan negara, keuangan, dan urusan pos. Hal ini juga dapat diartikan bahwa bidang kegiatan pemerintahan federasi adalah urusan-urusan selebihnya dari pemerintahan negara bagian (residuary powers).

Senin, 05 November 2012

SETUAS CORETAN SILAM

SETUAS CORETAN SILAM

dalam sebuah kedamaian hati terdapat duri indah membawa roma kepangkuannya.
sebuah ketenangan alamiah itu yang selalu hadir memecah gemuruh senyap.
tak khayal 1,2,dan 3 hanyalah sebuah proposisi kata belaka nan bermakna.
langkah kaki itu mengguncang tatap - tapak tilas..
pandangan semu yang semrawut menjadi sarapan ditiap tetes keringat dan cerahnya.
gemuruh kayu berdiameter 5 centimeter itu menjadi riuh laksana bom hiroshima.
benda kaca itu menari - nari tatkala besi bermesin itu bermain dipanggungnya.
lagi, kabut penyesalan menjadi kahs ditiap renungnya..
boomm.
buuuuaaarrrrr.
genderang amarah adalah aktornya.
rapuh itu lari dan tak tahu akan kemana..
"wooee" teriaknya
bisikan itu.
menjadi sulit menghafalnya..
lagi, sejarah silam menenangkan isi dalamnya..
puih - puih perih.
senyum - senyum lirih.
mesin - mesin derita hatinya.
ini sebuah identitas mutlak untuknya dan pagi pun menyambutnya kembali
seutas senyum lebar pun terbuka kembali mengiring ucapan "biarkan dirimu menjadi dominasi dipikiranku kasih"

Makna Kandungan KALOSARA

Kalo Sara merupakan simbol atau ideologi suku bangsa tolaki. Karena begitu pentingnya Kalo Sara ini bagi masyarakat hukum adat tolaki maka berikut ini saya akan memberikan beberapa keterangan-keterangan yang coba dituangkan oleh salah satu tokoh masyarakat dan pakar hukum adat tolaki dalam beberapa tulisan dan buku-bukunya sehingga kita mampu untuk memahami apa-apa saja kandungan dari Kalo Sara itu sendiri.
Menurut Drs Basaula Tamburaka (Pengurus DPW LAT) bahwa Kalo dipandang secara harfiah atau arti Kalo sebagai benda terbuat dari sepotong Rotan pilihan, dibentuk (dililit) menjadi lingkaran dengan kedua ujungnya diikat satu simpul. Untuk keseragaman bentuk dan bahan serta ukuran Kalo, telah diputuskan pada temu budaya Tolaki di Unaaha tahun 1996. Kalo itu terbuat dari bahan rotan (Uewai terkecil tidak dibelah, boleh juga Uewatu terkecil tidak dibelah). Proses pembuatannya, dipilin tiga utas rotan dari arah kiri kekanan (KALO HANA). Salah satu ujungnya keluar menonjol dan ujung lainnya tersembunyi pada simpul. Di sini ada makna tersendiri simpul Kalo. Insyaallah tulisan berikutnya akan dijelaskan.
Adapun alat kelengkapan Kalo, adalah terdiri wadah terbuat tangkai daun "WIU" atau Anggrek bulan (sorume) dianyam tangan sesuai ukuran tertentu. Wadah ini disebut Siwole Uwa. Dan sehelai kain putih bersih. Pada bagian pinggir atau tepi wadah ini disulam menurut karakter orang Tolaki, dibuatkan peti, diukir khusus agar tidak tercecer apalagi tercemar dengan benda lain. Khusus ukuran besar-kecil Kalo sebagai benda itu, telah disepakati pada temu budaya di atas terdiri 2 jenis peruntukan Pertama, diperuntukan pemakaiannya untuk Bupati ke atas, sesepuh dan tokoh masyarakat Tolaki, besarnya berdiameter atau garis menengahnya 45 cm disebut Kalo "TEHAU O'BOSE". Kedua, untuk digunakan Camat kebawah, umum dan masyarakat biasa, berdiameter atau garis menengahnya 35 cm disebut Kalo "MEULA INE BOSE". Dimana jenis kedua bentuk Kalo inilah, banyak digunakan atau sering kita saksikan atau mungkin Anda pernah melihat di rumah-rumah penduduk, ketika digelar acara Adat Mombesara Wonua, terutama pada acara upacara Mowindahako.
Kalo sebagai benda dan ketika sebutan Kalo Sara, harus dilengkapi wadah disebut "Siwole Uwa" di alas kain putih, di dalamnya di isi selembar daun sirih segar pilihan dan sebuah pinang muda segar. Diletakkan persis ditengah lingkaran Kalo untuk digelar bersama perangkat lainnya. Nah, bagaimana sebutan "Kalo Sara"? Artinya Kalo sebagaimana disebutkan di atas adalah sebagai benda. Sedangkan O'Sara adalah Adat-Istiadat atau hukum Adat. Menurut tokoh Adat Tolaki Drs. H. Muslimin Su'ud, SH "Kalo Sara adalah gabungan tiga komponen yaitu rotan kecil yang dililit tiga buah lilitan, secarik kain putih sebagai alas Kalo, dan wadahnya Siwole Uwa. Ketiga komponen inilah dinamakan Kalo Sara atau O'Sara.
Ketika orang Tolaki menyebut "Kalo Sara", dimaknai lebih luas jangkauannya. Bahkan mengandung unsur sakral. Umpamanya Anda pernah mendengar salah satu motto filosofis dalam bahasa puitis Tolaki yang berbunyi "Inae Kona Sara Ieto Pinesara, Inae Liasara Ieto Pineka Sara". Artinya barang siapa mentaati/menjunjung tinggi hukum (Adat) akan diperlakukan dengan baik dan adil, tapi barang siapa melanggar hukum akan diberi ganjaran atau sangsi. Itulah yang dimaksudkan Kalo Sara sebagai "Jantung" hukum adat Tolaki berlaku sejak ratusan tahun lalu, sampai hari ini masih diyakini dan ditaati, dipatuhi oleh yang mengaku masyarakat atau suku Tolaki dimanapun mereka berada. (*)